Aturan Sidang PHI Diminta Beri Peluang Ajukan PK
Berita

Aturan Sidang PHI Diminta Beri Peluang Ajukan PK

Harapannya, permohonan ini dapat diterima dan prosesnya dilanjutkan ke substansi uji materi.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan uji materi Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Permohonan ini diajukan Direktur PT Hollit International Anne Patricia Sutanto. Dia merasa dirugkan atas berlakunya aturan ini terutama terkait perlakuan dan kepastian hukum yang adil di hadapan hukum dalam upaya peninjauan kembali (PK) di perselisihan hubungan industrial.

 

Dalam persidangan sebelumnya, Kuasa Hukum Pemohon Hendrik Setiawan berdalih Pasal 56 UU PPHI telah menghilangkan tujuan hukum yakni menciptakan kemanfaatan dan keadilan hukum bagi pihak-pihak yang ingin menyelesaikan permasalahan hubungan industrial hingga tingkat PK. Ini secara otomatis menimbulkan kerugian yang bersifat spesifik dan potensial dan berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan telah terjadi serta memiliki hubungan sebab akibat (kausalitas) dengan diberlakukannya aturan ini.

 

Selengkapnya Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004 berbunyi, “Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

 

Perkara pengujian UU ini berawal adanya kasus konkrit yang dihadapi pemohon (dulu tergugat) terkait kasus gugatan penyelesaian hubungan industrial dengan salah satu mantan pegawainya yang bernama Mauadevi Khrisnasari di pengadilan tingkat pertama (PHI) yang gugatan pemohon dikabulkan atas gugatan penggugat.

 

Namun, penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan dikabulkan. Putusan MA  menyatakan pemohon (tergugat) telah melanggar perjanjian bersama tanggal 19 Juli 2017 antara penggugat dan tergugat. Pihak tergugat sebagai perusahaan juga diharuskan membayar hak-hak penggugat sebesar Rp 302.442.525,00 (tiga ratus dua juta empat ratus empat puluh dua ribu lima ratus dua puluh lima rupiah).

 

Pemohon menemukan ada bukti baru, sehingga memenuhi syarat akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Meski Pemohon juga  sadar bahwa menempuh upaya hukum luar biasa tersebut tidak diatur atau tidak ada dasar hukumnya dalam UU PPHI. Berdasarkan alasan-alasan itu, Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.

 

Karena itu, dalam perbaikan pemohonannya, melalui Kuasa Hukum Pemohon, Hendrik Setiawan menyampaikan perbaikan mengenai format permohonan. “Format atau sistematika penulisan permohonan sudah kami perbaiki. Perbaikan sudah disesuaikan dengan contoh,” kata Hendrik dalam persidangan, Kamis (15/5/2019).

Tags:

Berita Terkait