Perlu Dicari Model Baru Pendidikan Profesi untuk Hadirkan Advokat yang Berkualitas
Berita

Perlu Dicari Model Baru Pendidikan Profesi untuk Hadirkan Advokat yang Berkualitas

Kurikulumnya 70 persen praktikum, dan 30 persen etika.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pendidikan khusus advokat. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pendidikan khusus advokat. Ilustrator: BAS

Dunia advokat serasa disentil atas diterbitkannya Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat, Januari 2019. Melalui Permenristekdikti ini, prosedur menjadi advokat harus menjalani Pendidikan Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi. Itu pun harus perguruan tinggi berakreditasi minimal B dengan beban 24 SKS. Permenristekdikti ini menjadi pintu masuk Pendidikan advokat ke dalam rezim pendidikan profesi perguruan tinggi.

Sebelum terbitnya Permen ini, Mahkamah Konstitusi juga telah mengatur pendidikan advokat melalui putusan No. 95/PUU-XIV/2016. Melalui putusan ini, MK mengatur prosedur menjadi advokat yakni harus menjalani penddikan profesi advokat yang diselenggarakan oleh organisasi advokat bekerjasama dengan perguruan tinggi minimal yang berakreditasi B.

Jauh sebelum terbitnya putusan MK, penyelenggaraan pendidikan advokat secara penuh merupakan domain organisasi advokat sebagaimana diamanatkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Menurut UU ini, pendidikan advokat merupakan syarat untuk bisa diangkat menjadi seorang advokat. Pendidikan advokat dan ujian advokat juga diselenggarakan oleh organisasi advokat. Sementara pengambilan sumpah dan pengangkatan advokat dilakukan Pengadilan Tinggi setempat.

(Baca juga: Kisruh Pendidikan Advokat, Jangan Sampai Hak Konsumen Terlupakan).

Hari ini, praktik pendidikan advokat yang sedang berlangsung menggunakan pola Pendidikan advokat yang diatur oleh rezim putusan MK. Kerjasama antara oraganisasi advokat dengan pegururan tinggi yang berakreditasi minimal B. Pertanyaannya adalah, apakah model pendidikan profesi yang sudah atau sedang dipakai saat ini telah mencerminkan kualitas advokat yang dibutuhkan oleh masyarakat pencari keadilan?

Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Muhammad Ismak mengungkap problem utama kualitas advokat berkaitan dengan pendidikan. Model pendidikan yang telah dan sedang dilaksanakan saat ini tidak cukup mampu menyediakan advokat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari segi kurikulum, banyak hal yang harus diperbaiki. Durasi pendidikan yang sangat singkat tidak cukup untuk menghasilkan seorang advokat lulusan sarjana hukum. “Tidak bisa pendidikan dilakukan dalam waktu yang seperti sekarang ini,” ujar Ismak dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Forum Kajian Hukum Bisnis dan Kepailitan, di Jakarta, Kamis (16/5).

Waktu penyelenggaraan pendidikan advokat yang cukup singkat dinilai tidak mampu mengakomodasi bobot pendidikan advokat yang ideal. Standar kurikulumnya adalah 70 persen praktikum dan 30 persen etika. Namun pada kenyataannya, setiap penyelenggaraan pendidikan profesi advokat atau yang lazim dikenal dengan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), bobot teori masih sangat tinggi sehingga yang terjadi hanyalah pengulangan mata kuliah berpraktik yang telah diterima pada bangku pendidikan strata-1 (S1). “Kurikulum pendidikan advokat harus diubah,” ujar Ismak.

Ismak menyayangkan peran organisasi advokat yang seolah tidak begitu serius. Kecenderungan memperbanyak anggota dengan jalan memudahkan proses pendidikan, ujian, magang, dan pengambilan sumpah menjadi penyebab utama lahirnya advokat-advokat dengan kualitas yang perlu dipertanyakan oleh masyarakat. Tidak jarang ditemukan, pemegang lisensi advokat menyelewengkan profesinya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait