Menata Regulasi Industri Sawit
Kolom

Menata Regulasi Industri Sawit

​​​​​​​Bila pelaku industri sawit telah menaati standar ISPO yang kredibel maka Pemerintah juga harus memproteksi industri sawit dari kampanye hitam yang merugikan sumber devisa utama Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Dr. Rio Christiawan. Foto: Istimewa
Dr. Rio Christiawan. Foto: Istimewa

Industri kelapa sawit dari hulu hingga hilir (Crude Palm Oil - CPO beserta turunannya) merupakan penyumbang devisa terbesar bagi bangsa ini. Belakangan ini tak kurang dari Presiden dan Wakil Presiden turut melawan kampanye hitam yang menyerang industri sawit Indonesia. Memang langkah Pemerintah perlu diapresiasi terkait upaya mempromosikan sawit Indonesia dan melindungi sawit Indonesia baik dari persoalan kampanye hitam maupun dari persoalan hambatan ekspor ke luar negeri maupun hambatan perdagangan CPO dan turunannya.

 

Saat ini hambatan terbesar pada industri sawit terletak pada regulasi (perizinan) teknis yang jumlahnya terus bertambah serta birokrasi untuk mendapatkan perizinan teknis juga semakin panjang. Syarat pemberian izin teknis yang semakin rumit tersebut lahir dari regulasi yang mulai mementingkan aspek lingkungan dan sustainability pada industri sawit di Indonesia. Persoalannya Pemerintah juga terlihat setengah hati membereskan aspek lingkungan dan sustainability.

 

Contohnya sistem sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) disahkan melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 mewajibkan selambatnya akhir 2014 semua perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) harus sudah memiliki sertifikat ISPO. Namun, pada akhir 2014 hanya lima persen perusahaan kelapa sawit yang memenuhi syarat tersebut. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 banyak dikritik oleh para pemangku kepentingan karena pada saat penyusunannya tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan industri kelapa sawit.

 

Melihat kondisi tersebut, Pemerintah terpaksa menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 yang melonggarkan syarat dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 wajib memperoleh sertifikat ISPO, kemudian diubah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 hanya menjadi wajib mendaftarkan diri pada proses sertifikasi ISPO.

 

Bahkan sejak tahun 2017 Pemerintah tengah menggodok perpres ISPO untuk menyempurnakan tata kelola ISPO, tetapi hingga dua tahun berselang Perpres tersebut tak kunjung diterbitkan - akibatnya secara hukum tetap berlaku Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015.

 

Alhasil, ketentuan ini tidak dapat memuaskan buyer internasional sehingga ISPO saat ini hanya dipandang sebagai pemenuhan kewajiban terhadap peraturan tanpa memberi nilai lebih mengingat pada akhirnya buyer internasional lebih menggunakan sertifikasi internasional Round Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk memberi harga premium CPO beserta produk turunannya.

 

RSPO sendiri lebih condong pada konservasi ketimbang pengembangan (development). Dalam situasi ini, growers Indonesia kesulitan memenuhi syarat HGU dan pemenuhan perizinan teknis mengingat pengurusan HGU dan perizinan teknis memerlukan waktu yang lama dengan biaya tidak sedikit. Akibatnya secara komersial Indonesia gagal mengoptimalkan seluruh potensi CPO besertanya turunannya dengan harga premium sekaligus membuka peluang untuk (tetap) terciptanya kampanye hitam atas industri sawit Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait