Bahasa Hukum: ‘Klausula Baku’, Klausula yang Mengganggu
Fokus

Bahasa Hukum: ‘Klausula Baku’, Klausula yang Mengganggu

Pencantuman klausula baku dapat mengganggu hubungan konsumen dan produsen. Sudah banyak kasus sengketa yang terjadi.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi klausula baku dalam perjanjian. Ilustrator: HGW
Ilustrasi klausula baku dalam perjanjian. Ilustrator: HGW

Sudaryatmo masih ingat betul ketika di awal 1990-an Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) banyak menerima keluhan dari anggota masyarakat tentang layanan perbankan. Yang paling sering adalah kenaikan tiba-tiba biaya yang harus ditanggung konsumen (nasabah) bank. Konsumen tak dapat berkutik karena dalam perjanjian yang sudah dibuat –misalnya untuk kredit perumahan—ada klausula yang menyebutkan konsumen harus membayar ‘kenaikan biaya yang terjadi di kemudian hari’. Kasus lain adalah pengenaan biaya penutupan rekening di bank.

 

Kasus-kasus semacam itu terjadi ada ‘jebakan’ dalam perjanjian antara kedua belah pihak yang lazim disebut klausula baku. “Problem klausula baku itu sudah marak terjadi sejak 1990-an,” kata pengurus harian YLKI itu dalam diskusi peringatan Hari Konsumen Nasional 2019 di Jakarta, Sabtu (20/4).

 

Advokat yang banyak mengadvokasi isu perlindungan konsumen, David ML Tobing, bahkan berhasil menelusuri waktu yang lebih jauh. Pemerintah telah membahasnya pada Oktober 1980 di Jakarta. Pada saat itu sudah muncul istilah standard contract, yang kemudian dipahami sebagai perjanjian baku. Perjanjian baku diartikan sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir, tetapi tidak terikat oleh suatu bentuk tertentu (vorm vrij). Perjanjian baku dikeluarkan pemerintah dan swasta dan meniadakan asas konsensual serta tidak membedakan kondisi debitor. David juga menelusuri klausula baku dalam praktik melalui sejumlah putusan dan sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

 

(Baca juga: YLKI: “Penyelundupan” Klausula Baku dalam Perjanjian Leasing Rugikan Konsumen)

 

Penelitian yang relevan pernah dilakukan Fannieka Kristianto (2019: 182). Akademisi Presiden University ini telah meneliti 18 perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) satuan rumah susun. Hasilnya? Ternyata, pelaku usaha menetapkan secara sepihak PPJB yang merupakan perjanjian baku dan berisi janji-janji (klausula baku) yang pada dasarnya berat sebelah dan merugikan konsumen. Penelitian ini dilakukan setelah puluhan tahun UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berlaku. UU Perlindungan Konsumen sudah secara tegas melarang beberapa klausula baku.

 

Hukumonline.com

 

Pengertian dan doktrin

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud ‘klausula baku’ itu? Secara leksikal (Sri Rejeki Hartono, Paramita Prananingtyas dan Fahimah, Kamus Hukum Ekonomi, 2010: 87),  klausula atau klausul mengandung arti ketentuan khusus dalam suatu perjanjian, dapat bersifat memperluas atau membatasi. Sedangkan Kamus Hukum Kontemporer karya M. Firdaus Sholihin dan Wiwin Yulianingsih (2016: 102), mendefinisikan klausula baku sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

 

Gambaran lebih detail tentang klausula baku termuat dalam buku berwujud restatement, yakni Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku, yang ditulis Ahmad Fikri Assegaf (2014). Ternyata istilah yang dipakai oleh para sarjana berbeda-beda. Mariam darus Badrulzaman menggunakan istilah ‘perjanjian baku’, sebagai terjemahan dari bahasa Belanda standaardcontract atau standaardvoorwaarden. Sutan Remy Sjahdeini mengutip beberapa istilah yang dipakai yakni standardized agreement, standardized contract, pad contract, standard contract, contract of adhesion dan lain-lain. Yang harus diingat adalah konteks penggunaan masing-masing istilah.

 

Sebagai contoh kontekstualisasi klausula dan perjanjian baku, penting melihat pandangan majelis hakim yang memutus perkara No. 267 K/Pdt.Sus/2012. Majelis tidak melihat adanya perbedaan penting antara klausula baku dengan perjanjian baku. Padahal, pada proses di BPSK tergugat sudah mencoba membangun argumentasi tentang perbedaan perjanjian baku dengan klausula baku. Perjanjian yang dipersoalkan para pihak adalah perjanjian baku sedangkan yang diatur UU Perlindungan Konsumen adalah klausula baku.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait