Pembuktian, Masalah Krusial dalam Penyelesaian Sengketa Pilpres
Berita

Pembuktian, Masalah Krusial dalam Penyelesaian Sengketa Pilpres

Dalam waktu yang singkat, relatif mustahil untuk memberikan rasa keadilan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi, tempat penyelesaian konstitusional sengketa pilpres. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi, tempat penyelesaian konstitusional sengketa pilpres. Foto: RES

Sejumlah pihak meminta pasangan capres-cawapres yang tidak menerima hasil pemilu menempuh upaya hokum melalui Mahkamah Konstitusi. Sebab, jalur inilah mekanisme konstitusional yang sejalan dengan hokum. Mahkamah Konstitusi pun sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari, termasuk memberikan pelatihan kepada para advokat dan perwakilan partai politik mengenai mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilu.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitra Arsil, mengingatkan pentingnya dilakukan evaluasi penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Berkaitan dengan penyelesaian sengketa hasil pemilu, salah satu persoalan krusial yang akan dihadapi adalah pembuktian.

Siapa pihak yang mendalilkan, maka dialah yang harus membuktikan. Dalam konteks sengketa hasil Pilpres, beban pembuktian ada di pundak pemohon. Pemohon hanya diberi waktu 3 hari pasca penetapan oleh KPU untuk mengajukan permohonan sengketa, termasuk mengumpulkan bukti. “Bagi pemohon penyelesaian sengketa hasil pemilu, desain pembuktian hasil pemilu sebenarnya tidak memenuhi keadilan,” kata Fitra Arsil saat dihubungi hukumonline, Rabu (22/5).

Menurut Fitra, beban pembuktian yang harus dipenuhi pemohon atas kesalahan hasil perolehan suara hampir mustahil. Perlu diketahui bahwa untuk membuktikan kesalahan perolehan suara akan mengacu pada alat bukti surat berupa berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani penyelenggara Pemilu sesuai tingkatannya. “Pemohon harus bisa membuktikan dengan formulir C1 dengan tanda tangan basah, siapa yang bisa cover pembuktian itu untuk jutaan suara?,” ujarnya.

(Baca juga: Membedah Putusan MK Soal Pemilu Serentak).

Menghadirkan bukti valid yang cukup atas selisih penghitungan dinilai Fitra sebagai hal mustahil pertama. Artinya, sangat sulit bagi pemohon untuk bisa menghadirkan bukti yang lengkap dalam menandingi data yang dimiliki penyelenggara pemilu. Apalagi waktu yang dimiliki pemohon relatif sangat singkat mengingat dugaan pelanggaran itu dapat terjadi di daerah yang tersebar jauh.

Hal mustahil kedua adalah membuktikan adanya kecurangan pemilu berupa tindakan terstruktur, sistematis, dan masif. Tidak mudah mengukur tindakan macam apa yang signifikan sebagai kecurangan terstruktur, kecurangan sistematis, dan kecurangan masif. “Syaratnya harus terbukti signifikan, kalau ada kebijakan yang dianggap politisasi birokrasi, bagaimana mengukur itu signifikan terhadap perolehan suara?,” katanya lagi.

(Baca juga: Mau Ajukan Sengketa Pilpres ke MK, Tim Hukum Capres Perlu Pahami Ini).

Hal lain yang dianggap Fitra mustahil adalah rentang waktu yang pendek untuk MK mengeluarkan putusan. Hanya tersedia 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Dengan desain pembuktian demikian, Fitra menganggap sangat sulit bagi majelis hakim MK benar-benar menghasilkan putusan yang memenuhi nilai keadilan. Secara formal, proses penyelesaian sengketa itu merujuk pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum; dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Beracara dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden.

Tags:

Berita Terkait