Pemantauan Persidangan dan Potret Unfair Trial di Indonesia
Kolom

Pemantauan Persidangan dan Potret Unfair Trial di Indonesia

Penasihat hukum merupakan aktor yang kehadirannya sangat diperlukan dalam pemeriksaan perkara pidana.

Bacaan 2 Menit
Siska Trisia. Foto: Istimewa
Siska Trisia. Foto: Istimewa

Meski telah delapan belas tahun Cetak Biru Pembaharuan Peradilan diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA), ternyata kondisi peradilan Indonesia belum juga ideal karena masih lekat dengan penyimpangan dan pelanggaran hukum. Buktinya, hingga 2018 beragam persoalan hukum malah terjadi di lembaga yang seharusnya menyelesaikan permasalahan masyarakat tersebut.

 

Berdasarkan data yang pernah dikeluarkan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI, sejak tahun 2012 hingga Maret 2018, terdapat 27 orang aparatur pengadilan yang terjerat kasus korupsi, mayoritas dari mereka adalah hakim dan panitera. Tidak hanya itu, pada tahun yang sama MaPPI juga merilis modus-modus pungli (pungutan liar) yang marak terjadi di Pengadilan Negeri di Indonesia. Pelakunya lagi-lagi aparatur pengadilan, yakni panitera pengganti dan panitera muda hukum.

 

Melihat fenomena tersebut, tentu pelibatan banyak pihak dan pengupayaan berbagai cara harus dilakukan untuk mengembalikan citra pengadilan yang sudah tercoreng, salah satunya dengan membuka ruang pengawasan masyarakat untuk memantau persidangan.

 

Setiap tahunnya mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia (FHUI) telah ikut andil dalam mewujudkan cita-cita MA mereformasi lembaga peradilan. Tidak hanya belajar hukum di ruang kelas, mereka juga serentak turun ke pengadilan guna mengamati proses sidang secara langsung. Kasus yang dipantaupun beragam, mulai dari yang sifatnya ringan seperti pencurian, penipuan, narkotika hingga kasus pidana yang melibatkan anak. Dengan adanya pemantauan, diharapkan pengawasan terhadap tindak tanduk aparatur pengadilan (baik yang sifatnya administrasi maupun teknis hukum) tidak hanya bertumpu kepada Badan pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY) saja.

 

Hingga saat ini, “berurusan dengan pengadilan” masih menjadi momok yang menakutkan. Tidak hanya bagi masyarakat yang awam hukum tetapi juga bagi orang orang yang secara pendidikan adalah orang yang cukup paham terhadap persoalan hukum. Pada Januari lalu misalnya, Institutefor Criminal Justice Reform/ICJR merilis laporan terkait pelaksanaan prinsip fair trial di Indonesia. Hasilnya cukup menakjubkan dan dengan itu pekerjaan rumah pengadilan kita bertambah, lantaran masih banyaknya catatan-catatan negatif yang harus segera diperbaiki oleh aparat penegak hukum saat menjalankan tugasnya.

 

Hal tersebut ternyata seirama dengan apa yang ditemukan oleh hampir 300 orang Mahasiswa UI dalam pemantauan persidangan pada 2018. Tercatat terdapat 123 kasus yang terpantau di pengadilan Jakarta, Bogor, Depok dan Cibinong, di mana sebagian besarnya terdapat praktik-praktik “tidak taat hukum” oleh aparatur pengadilan. Hal ini tentu membuat miris, karena sejak cetak biru pembaharuan peradilan yang selalu digadang-gadang diluncurkan, ternyata belum juga membawa kesejahteraan bagi masyarakat pencari keadilan di Indonesia.

 

Minimnya Pendampingan Hukum Bagi Terdakwa di Persidangan

Penasihat hukum merupakan aktor yang kehadirannya sangat diperlukan dalam pemeriksaan perkara pidana. Dengan sistem pemeriksaan perkara yang bersifat adversarial maka dalam sistem peradilan kita terdakwa sebagai “subjek” pemeriksaan dijamin haknya untuk membantah atau menyiapkan pembelaan diri secara maksimal. Dengan demikian hasil pemeriksaan perkaranya tidak berat sebelah apalagi merugikan dirinya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait