Lemahnya Penegakan Hukum Membuat Program JKN Tak Optimal
Berita

Lemahnya Penegakan Hukum Membuat Program JKN Tak Optimal

Salah satunya penerapan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam PP No.86 Tahun 2013 belum berjalan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES

Hasil audit BPKP terhadap Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan Tahun 2018 menunjukan ada berbagai persoalan dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Terutama terkait adanya defisit anggaran BPJS sebesar Rp9,1 triliun pada tahun 2018.     

 

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai dari hasil audit itu terlihat beban DJS untuk biaya manfaat (INA-CBGs dan kapitasi) sebesar Rp98,4 triliun. Dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) 2018 diproyeksikan biaya manfaat itu hanya Rp87,33 triliun, sehingga ada kelebihan sebesar Rp11 triliun.

 

Kelebihan itu menurut Timboel mengindikasikan direksi BPJS Kesehatan belum mampu mengendalikan biaya manfaat. Selain itu, BPKP menemukan ada inefisiensi pembayaran klaim layanan di RS sebesar Rp819 milyar karena kontrak antara RS dan BPJS Kesehatan menggunakan tarif untuk kelas RS yang lebih tinggi.

 

Untuk total pendapatan yang diterima dari iuran peserta selama 2018, BPJS Kesehatan berhasil menghimpun sampai Rp82,23 triliun. Jumlah tersebut melebihi RKAT 2018 yang ditetapkan sebesar Rp79,77 triliun. Tapi untuk segmen peserta bukan penerima upah (PBPU) hanya Rp8,96 triliun atau 11 persen dari total pendapatan iuran.

 

Menurut Timboel jumlah ini masih di bawah target RKAT tahun 2018 sebesar Rp9,23 triliun. Persoalan PBPU ini terus terjadi setiap tahun dengan utang iuran PBPU tergolong tinggi di atas Rp2 triliun. Karena itu, hasil audit BPKP menyebut tingkat kolektabilitas iuran PBPU hanya 53,72 persen, di bawah target yang ditetapkan yakni 60 persen. Klaim PBPU juga besar mencapai 31 persen dari total klaim seluruh segmen peserta.

 

Persoalan kepesertaan PBPU ini, lanjut Timboel, harus menjadi perhatian pemerintah dan BPJS Kesehatan. Selain utang iuran yang sangat tinggi dibanding segmen kepesertaan lainnya, besaran iuran PBPU juga layak disesuaikan dengan perhitungan aktuaria terutama iuran untuk kelas 3 dan 2.

 

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, salah satu isinya mewajibkan pendaftaran sebagai peserta JKN untuk PBPU dan BP paling lambat 1 Januari 2019. Bagi Timboel, regulasi ini bisa berjalan baik jika dibarengi dengan penerapan sanksi administratif sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) No.86 Tahun 2013. Dengan jumlah kepesertaan yang besar dan rutin membayar iuran diharapkan mampu mengatasi persoalan utang iuran dari segmen PBPU.

Tags:

Berita Terkait