Niat Jahat dalam Uji Tuntas
Kolom

Niat Jahat dalam Uji Tuntas

Niat jahat perlu dibuktikan unsur kesengajaan dan motif kesengajaan untuk mengesampingkan laporan uji tuntas dalam transaksi akuisisi.

Bacaan 2 Menit
Niat Jahat dalam Uji Tuntas
Hukumonline

Fenomena penetapan tersangka terkait niat jahat pascamantan Direktur Utama Pertamina ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Agung terlihat dalam kasus akuisisi blok BMG Australia. Niat jahat disangkakan mengingat transaksi akuisisi sudah dilaksanakan sebelum laporan akhir uji tuntas selesai.

 

Memang dalam lazimnya transaksi pengambil-alihan (akuisisi) secara legal terdiri dari tiga tahapan. Tahapan yang pertama adalah tahapan MoU/HoA yang berisi tentang teknis rencana pengambil-alihan, term uji tuntas (due diligence) dan hak esklusifitas pembeli. MoU/HoA pada tahapan pertama ini menandai hubungan hukum antara kedua belah pihak. Secara hukum tahapan pertama ini didefinisikan sebagai conditional offering dan conditional acceptance.

 

Disebut conditional offering dan conditional acceptance karena sifatnya masih bersyarat tergantung pada kondisi-kondisi yang ditemukan pada saat uji tuntas. Uji tuntas pada umumnya dilakukan pada tiga bagian yakni legal due diligence, Finance and tax due diligence dan operational due diligence.

 

Secara hukum hasil uji tuntas (due diligence) akan menentukan dua hal yakni apakah berdasarkan temuan dalam uji tuntas para pihak dapat melanjutkan hubungan hukum, pada fase ini para pihak dapat mengakhiri MoU/HoA atau melanjutkan meningkatkan status transaksi pada Condition Sale and Purchase Agreement (CSPA), artinya kondisi-kondisi yang ditemukan pada uji tuntas harus diakomodir dalam CSPA.

 

Pada tahap pertama niat jahat dapat terjadi dalam hal terjadi temuan material yang berakibat pada batalnya akuisisi namun para pihak memilih untuk mengesampingkan temuan tersebut dan melanjutkan pada tahap CSPA, artinya sedari awal memang sudah terjadi niat jahat pada proses akuisisi. Batasan niat jahat pada tahap ini adalah temuan material tersebut sifatnya mendasar dan jika diungkapkan nyata-nyata dapat menghalangi transaksi, pada tahap ini sifanya hanya menilai kelayakan transaksi belum pada aspek komersial.

 

Tetapi pada tahap ini niat jahat dapat digugurkan jika pada MoU/HoA terdapat klausul yang menyebutkan sifat transaksi ‘as-is’ artinya sebagaimana adanya, sehingga sifat uji tuntas bukan lagi untuk melakukan assessment atas resiko, tetapi pada transaksi ‘as-is’ uji tuntas digunakan untuk melakukan inventarisasi fakta terkait transaksi.

 

Pada tahap kedua yakni jika para pihak berdasarkan laporan uji tuntas mengkonversi MoU/HoA menjadi CSPA. Pada CSPA normalnya terdapat tiga klausul yang terkait dengan hasil temuan uji tuntas yakni yang pertama adalah klausula terkait condition precedence (CP), CP adalah persyaratan yang harus dipenuhi sebelum CSPA dikonversi menjadi SPA (Sale and Purchase Agreement) sehingga akuisisi efektif. Jika CP tidak dipenuhi maka CSPA tidak akan pernah dapat dikonversi menjadi SPA. CP diperlukan terkait temuan yang sifatnya material dan dapat menjadi persyaratan transaksi secara komersial sehingga bila dilakukan setelah SPA efektif maka harga transaksi dan resiko menjadi tidak seimbang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait