Bolehkah Pejabat Mahkamah Agung Mengajukan HUM? Preseden Ini Jawabannya
Berita

Bolehkah Pejabat Mahkamah Agung Mengajukan HUM? Preseden Ini Jawabannya

Ada aturan tentang siapa yang boleh mengajukan HUM. Ada pula preseden putusannya.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: HOL
Gedung Mahkamah Agung. Foto: HOL

Pada prinsipnya setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk mempersoalkan peraturan perundang-undangan melalui jalur resmi. Jika jenis peraturan perundang-undangan itu berada di bawah Undang-Undang, maka permohonannya diajukan ke Mahkamah Agung. Sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang Mahkamah Agung, MA berwenang mengadili dan memutus permohonan uji materi peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Mahkamah Agung bahkan sudah membuat tata cara pengajuan permohonan dalam Perma No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

Salah satu yang akan dipertimbangkan oleh majelis hakim ketika menangani perkara HUM adalah kedudukan hukum atau legal standing pemohon. Selama ini, ada tiga jenis pemohon yang diakui. Pertama, perorangan warga negara Indonesia. Kedua, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Ketiga, badan hukum publik atau badan hukum privat.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) M. Nur Sholikin berpendapat pengajukan oleh pegawai Mahkamah Agung dan hakim diperbolehkan. Sepanjang pemohon adalah WNI dan mengalami kerugian akibat berlakunya peraturan maka ia dapat mengajukan permohonan HUM, tak terkecuali mereka yang berprofesi sebagai hakim. “Tidak ada yang membatasi (bagi pegawai MA –red),” ujarnya.

Sholikin merujuk pada permohonan HUM yang diajukan hakim terhadap Peraturan Pemerintah mengenai gaji dan tunjangan. Pasal 1 angka 4 Perma No. 1 Tahun 2011 menegaskan pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada MA atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari Undang-Undang.

Berdasarkan penelusuran hukumonlline, sejumlah karyawan Mahkamah Agung juga pernah mengajukan HUM. Permohonan bahkan diajukan Made Rawa Aryawan (Panitera Mahkamah Agung), Ashadi (Panitera Muda TUN), Rahmi Mulyati (Panitera Muda Perdata), Roki Panjaitan (Panitera Muda Pidana Khusus), Suharto (Panitera Muda Pidana), dan Abdul Ghoni (Panitera Muda Agama). Para pemohon ini mengajukan HUM terhadap Lampiran II Peraturan Pemerintah (PP) No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung terhadap UU No. 14 Tahun 1984 juncto  UU No. 5 Tahun 2004 juncto UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Faktanya, para pemohon HUM ini bertugas di Mahkamah Agung dan sehari-hari menangani administrasi perkara. Lalu, adakah konflik kepentingan para pemohon mengingat perkara itu berujung di Mahkamah Agung juga? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilihat praktik yang terjadi.

(Baca juga: Alasan MA Batalkan Aturan Gaji Pokok dan Pensiun Hakim).

Dalam putusan No. 25 P/HUM/2017, majelis hakim agung berpendapat para pemohon mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan. Majelis mempertimbangkan kerugian yang dialami para pemohon dan kedudukan pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2009. Dalam konteks perkara ini, para pemohon mengaku sebagai WNI yang berprofesi sebagai hakim dan menduduki jabatan (ambt) sebagai Panitera dan Panitera Muda Mahkamah Agung.

Tags:

Berita Terkait