Enam Alasan YLBHI Minta Tim Asistensi Hukum Dibubarkan
Utama

Enam Alasan YLBHI Minta Tim Asistensi Hukum Dibubarkan

Sebelum mengajukan gugatan ke PTUN, dalam suratnya YLBHI/LBH Jakarta memberi waktu 14 hari kepada Menkopolhukam dan Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi dan membubarkan Tim Asistensi Hukum. Jika tidak, YLBHI akan gugat SK Menkopolhukam ke PTUN Jakarta.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kantor YLBHI di Jakarta. Foto: Sgp
Kantor YLBHI di Jakarta. Foto: Sgp

Pembentukan Tim Asistensi Hukum yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto lewat Surat Keputusan (SK) Menkopolhukam No.38 Tahun 2019 tertanggal 8 Mei 2019 masih terus dipersoalkan. Keberadaan Tim yang bertugas memantau dan mengkaji ucapan para tokoh ini diminta dievaluasi dan dibubarkan dengan mencabut SK tersebut.      

 

Permintaan pembubaran Tim Asistensi Hukum ini dilayangkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui kuasa hukumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang telah mengirim surat somasi (peringatan) ke Kemenkopolhukam. Hal ini sesuai Peraturan MA No. 16 Tahun 2018 sebagai bentuk mengingatkan pejabat pemerintah dalam hal ini Menkopolhukam kalau kebijakannya itu dinilai keliru.         

 

Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan medio Mei lalu YLBHI/LBH Jakarta telah mengingatkan pemerintah untuk membubarkan Tim Asistensi Hukum itu Sayangnya, Tim Asistensi Hukum yang beranggotakan 24 orang itu tak menggubris dan sampai sekarang masih terus berjalan.

 

“Jika dalam waktu sekitar dua minggu ini tidak ada respon positif, kami akan melayangkan gugatan ke PTUN,” kata Arif saat dihubungi Hukumonline, Senin (17/6/2019). Baca Juga: Tim Asistensi Dinilai ‘Tabrak’ Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum

 

Arif menyebut ada enam poin yang menjadi alasan keberatan atas keberadaan Tim Asistensi Hukum ini. Pertama, penerbitan SK Menkopolhukam No.38 Tahun 2019 bentuk penyimpangan terhadap prinsip pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagaimana mandat konstitusi. SK itu membuka ruang intervensi kekuasaan eksekutif terhadap proses penegakan hukum yang menjadi ranah yudikatif.

 

Kedua, SK Menkopolhukam No.38 Tahun 2019 dinilai melanggar prinsip administrasi pemerintahan sebagaimana diatur UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Menurut Arif terbitnya keputusan itu tidak berdasarkan landasan hukum yang tepat. Dia mencatat tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberi kewenangan atau mandat kepada Menkopolhukam untuk membentuk Tim Asistensi Hukum.

 

Pasal 340 huruf c Peraturan Menteri Polhukam No.4 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenko Polhukam, menurut Arif memerintahkan Menko Polhukam untuk membentuk tim koordinasi. Tapi tim koordinasi ini hanya berwenang sebagai tim kajian terhadap masalah yang sifatnya strategis untuk merumuskan saran atau konsep kebijakan dan pemecahan masalah dalam isu polhukam.

Tags:

Berita Terkait