Sita Pidana vs Sita Umum Kepailitan: Mana yang Didahulukan?
Utama

Sita Pidana vs Sita Umum Kepailitan: Mana yang Didahulukan?

Baik sita pidana, sita umum, sita perdata, kekuasaan atas harta/benda tetap ada pada Negara. Namun bukan berarti semuanya menjadi milik negara.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi Pendidikan Kelanjutan AKPI Tahun 2019 dengan tema “Sita Pidana Vs Sita Umum Kepailitan”, Kamis (21/6). Foto: HMQ
Acara diskusi Pendidikan Kelanjutan AKPI Tahun 2019 dengan tema “Sita Pidana Vs Sita Umum Kepailitan”, Kamis (21/6). Foto: HMQ

Benturan antara Kepentingan Kepolisan dan Kejaksaan untuk melakukan sita pidana dengan kepentingan kurator untuk melakukan Sita umum kepailitan masih sering terjadi di lapangan. Kasus First Travel (FA), Abu Tour (AT), Koperasi Pandawa dan kasus lainnya menjadi contoh bahwa konsekuensi keadilan bagi ‘pemilik hak sebenarnya’ masih terabaikan oleh Negara.

 

Bagaimana mungkin lantaran masuk dalam sita pidana, aset FA dan AT yang seharusnya merupakan hak jamaah/kreditur malah dijadikan aset negara sekalipun di dalamnya tak ditemukan unsur kerugian negara?

 

Mendudukan persoalan kembali pada aspek filosofis dilakukannya sita dalam konteks pidana maupun kepailitan menjadi diperlukan. Guru Besar Hukum Pidana FH UGM Eddy OS Hiariej mengatakan, memang kedudukan sita pidana lebih didahulukan ketimbang sita umum, mengingat karakter pidana yang merupakan hukum publik memiliki kedudukan yang lebih tinggi ketimbang hukum privat.

 

Namun penting digaris bawahi bahwa dalam konteks sita pidana penyidik boleh mengajukan penyitaan tapi penguasaan terhadap benda itu tidak boleh diberikan kepada penyidik, cukup berada dalam penguasaan pengadilan. Penyidik membutuhkan benda itu hanya untuk kepentingan pembuktian.

 

Menurutnya, baik sita pidana, sita umum, sita perdata, kekuasaan atas harta/benda tetap ada pada Negara. Namun bukan berarti semuanya menjadi milik negara. Dalam kasus First Travel misalnya, seharusnya pengadilan memerintahkan bukan dikembalikan kepada negara, tapi dibagi-bagikan kembali kepada mereka yang merugi.

 

“Karena itu kan uang orang, uang umat, bukan uang Negara,” ujarnya.

 

Intinya, urgensitas sita pidana terfokus pada kepentingan pembuktian oleh penyidik, setelah selesai pembuktian harus dikembalikan kepada yang berhak. Di tengah kondisi minimnya aturan yang menegaskan persinggungan ini, kontrol sebetulnya ada di tangan pengadilan. Seharusnya, pengadilan menjadi pintu untuk meluruskan persoalan ini bukan malah memperkeruh dengan mengembalikan aset kepada negara.

 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Imran Nating, menambahkan kendala lainnya bahwa kejaksaan dan kepolisian tidak mempunyai instrumen untuk menyelesaikan persoalan pembagian harta sitaan pasca pembuktian itu kepada kreditur. Satu-satunya yang mempunyai instrumen untuk melakukan pembagian harta debitor itu adalah proses kepailitan yaitu melalui kurator.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait