Penegakan Hukum Kejahatan Pungli Masih Lemah
Berita

Penegakan Hukum Kejahatan Pungli Masih Lemah

Pungli tidak hanya dilakukan pihak swasta melainkan oknum penyelenggara negara menjadi pelaku kejahatan ini.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi Pungli dalam Distribusi Logistik dan Risiko Hukum bagi Pelaku Usaha yang diadakan Hukumonline dan Ikatan Alumni FHUI, Kamis (20/6). Foto: HOL
Acara diskusi Pungli dalam Distribusi Logistik dan Risiko Hukum bagi Pelaku Usaha yang diadakan Hukumonline dan Ikatan Alumni FHUI, Kamis (20/6). Foto: HOL

Persoalan pungutan liar (pungli) sulit hilang dalam dunia birokrasi di Indonesia. Meski telah dikeluarkan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), faktanya fenomena pungli masih terus terjadi dalam berbagai bidang seperti izin usaha, pendidikan, kesehatan hingga hukum.

 

Anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bidang Perhubungan, Syamsuddin Baco, menyatakan salah satu industri yang paling marak terjadi pungli yaitu sektor usaha distribusi atau logistik darat. Menurutnya, pungli tersebut dilakukan pihak swasta dan oknum penyelenggara negara.

 

Oknum penyelenggara negara yang melakukan pungli tersebut sering mencari-cari kesalahan truk muatan pengangkut barang agar dapat dikutip bayaran. Salah satu motifnya, oknum tersebut meminta biaya tambahan pada uji berkala kendaraan hingga perizinan seperti SIPA (Surat Izin Pengusaha Angkutan), KIU (Kartu Izin Usaha) dan IBM (Izin Bongkar Muat). Untuk uji berkala bisa dikenakan biaya pungutan tambahan hingga Rp 1,2 juta. Sedangkan pungli perizinan berkisar Rp 50-100 ribu.

 

Kemudian, dia juga menjelaskan ada oknum mencegat kendaraan pengangkut meminta bayaran Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu karena izin kedaluwarsa atau dalam proses perpanjangan dan pelanggaran rambu. Sedangkan saat ada operasi gabungan kemudian ditemukan izin tidak berlaku maka  ada pungutan Rp 500 ribu dengan penahanan kendaraan selama dua minggu. Apabila kendaraan ingin dilepas pada hari yang sama harus membayar hingga Rp 2,75 juta.

 

Syamsuddin menjelaskan maraknya pungli ini mengakibatkan biaya pengiriman barang semakin mahal sekitar 15-20%. Hal ini akan berdampak semakin meningkatnya harga hingga konsumen. “Harga barang lebih mahal sampai ke konsumen,” jelas Syamsuddin dalam acara diskusi Pungli dalam Distribusi Logistik dan Risiko Hukum bagi Pelaku Usaha yang diadakan Hukumonline dan Ikatan Alumni FHUI, Kamis (20/6).

 

Sementara itu, praktisi hukum good corporate governance (GCG) dan Sekretaris Umum ILUNI FHUI, Mohamad Fajri Mekka Putra, menyatakan pungli muncul kadangkala dari perilaku masyarakat yang memberi uang jasa dan tanda terimakasih pada pelayanan yang diberikan. Sehingga, masyarakat perlu diberi edukasi atas perilaku-perilaku yang turut menumbuhkembangkan budaya pungli, seperti kebiasaan memberikan fulus dengan alasan uang lelah maupun sebagai ucapan terima kasih.

 

(Baca Juga: Begini Isi Perpres Saber Pungli)

 

Fajri menjelaskan cara tersebut dapat dilakukan dengan membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa pelayanan yang diterima adalah hak mereka dan sudah kewajiban aparatur pemerintah untuk memenuhi hak masyarakat, sehingga tidak ada lagi niat mengagihkan lembaran rupiah.

Tags:

Berita Terkait