Kasus Setnov, Visi ‘Asset Recovery’ Belum Jadi Prioritas
Berita

Kasus Setnov, Visi ‘Asset Recovery’ Belum Jadi Prioritas

Berdasarkan catatan ICW, dari 313 perkara korupsi yang ditangani KPK periode 2016 hingga 2018, hanya 15 kasus korupsi yang sekaligus dikenakan pasal pencucian uang.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pelesiran mantan Ketua DPR Setya Novanto di luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin pekan lalu menjadi perhatian kalangan masyarakat sipil. Sebab, pelesiran terpidana kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) ke toko bangunan di Padalarang, Bandung, bersama dengan istrinya itu ditengarai masih menikmati uang hasil korupsinya yang bisa dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU).

 

“KPK bisa menjerat pasal pencucian uang karena telah tergambar pola transaksinya melalui money changer. Agar political expose person dapat terbongkar untuk merampas aset yang dimilikinya dan diharapkan dapat mengoptimalkan pengembalian aset dari kasus korupsi e-KTP,” ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah belum lama ini di Jakarta.

 

“Terlebih, pengembalian aset sebesar Rp500 miliar yang dikorupsi Setya Novanto masih jauh dari nilai kerugian negara yang mencapai Rp2,3 miliar. Tidak heran bila Setya Novanto masih dapat pelesiran ke luar lapas,” ujarnya. Baca Juga: Aset Dirampas Tanpa Putusan Pengadilan, Bisakah?

 

Wana menilai keterkaitan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan kasus korupsi sangat erat yang dimana korupsi sebagai predicate crime (tindak pidana asal). Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). “Kejahatan TPPU dapat dimulai dari perbuatan tindak pidana korupsi. Jadi, prinsip follow the money mesti diterapkan terhadap setiap kasus,” ujarnya.  

 

Namun begitu, berdasarkan pengamatan ICW penindakan kasus-kasus yang dijerat TPPU masih minim. Berdasarkan catatan ICW, dari 313 perkara korupsi yang ditangani KPK periode 2016 hingga 2018, hanya 15 kasus korupsi yang sekaligus dikenakan pasal pencucian uang.“Ini memperlihatkan visi mengenai asset recovery belum menjadi prioritas,” katanya.

 

Sebelumnya, Penasehat KPK Budi Santoso mengakui selama ini di Indonesia memang belum ada aturan khusus yang memungkinkan KPK dengan mudah menyita aset kekayaan negara yang tak jelas asal usulnya. Meski telah diatur dalam United Nation Convention against Corruption (UNCAC), tetap saja pelaksanaannya kerap terbentur persoalan hak asasi seseorang dalam hal hak kepemilikan atas benda (kekayaannya) termasuk persoalan keharusan adanya proses pembuktian dan putusan pengadilannya.

 

Untuk diketahui, PBB melalui Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC Tahun 2003 telah memasukkan norma yang mengharuskan negara-negara peserta konvensi untuk memaksimalkan upaya perampasan aset hasil kejahatan sekalipun tanpa melalui proses tuntutan pidana. Pasal itukemudian menjadi salah satu acuan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana di Indonesia sejak 2012 lalu. Ironisnya, hingga saat ini RUU yang diharapkan bakal memayungi seluruh prosedur perampasan aset tersebut tak pernah muncul dalam daftar prolegnas tahunan di DPR.

Tags:

Berita Terkait