Sekali Lagi, Hukum Adalah Panglima
Tajuk

Sekali Lagi, Hukum Adalah Panglima

​​​​​​​Menurut hukum MK akan melakukan pendekatan berdasarkan fakta dan bukti, karena sederhananya, ini merupakan sengketa pemilu, bukan tentang sistem pemilu, rekam jejak, kinerja paslon dan petahana, atau masalah lainnya.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Dalam kehidupan berpolitik kita selama ini, tidak sering kita mengalami bahwa nasib politik, atau lebih tepatnya penguasa, ditetapkan oleh hukum. Kali ini, sekali lagi, hukum menjadi panglima. Kesembilan Hakim Konstitusi dari Mahkamah Konsitusi mendapat tugas berat untuk memutuskan hasil akhir pilpres 2019.

 

Tugas yang berat, karena keputusannya akan menentukan kualitas demokrasi di Indonesia, peta politik nasional, dan siapa orang-orang yang terpilih sebagai pimpinan nasional yang akan membawa (nasib) kita semua, bangsa dan rakyat Indonesia, ke periode lima tahun ke depan. Semakin penting karena ini terjadi di tengah hingar bingar dunia menghadapi perang dagang, perubahan iklim, ancaman terorisme dan radikalisme, kelangkaan pangan dan energi, dan kesenjangan di segala bidang.

 

Kita tahu, bahwa Amerika Serikat (AS) adalah salah satu juara demokrasi di dunia, bahkan mereka sudah memulainya sejak lebih dari 300 tahun yang lalu. Namun demikian, pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2000 terpaksa ditentukan oleh pengadilan. Kasus ini kontroversial, banyak pihak percaya bahwa seharusnya Al Gore memperoleh lebih banyak suara dibanding dengan George Bush di Negara Bagian Florida. Para pemilih Al Gore percaya bahwa kemenangan Bush adalah hadiah dari pengadilan di AS.

 

Memang banyak penelitian dilakukan, dan silang pendapat tentang hal tersebut sampai hari ini, tetapi Al Gore jantan, dan tunduk pada keputusan pengadilan. Al Gore akhirnya mengambil jalan lain dalam hidupnya, berjuang dan menjadi tokoh besar dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan dari dampak perubahan iklim dunia. Sementara itu Bush kembali memimpin AS dengan segala masalah, dinamika dan kebijakannya, yang ikut mewarnai peta politik dan perdamaian dunia yang bermasalah sampai saat ini.

 

Tahun lalu, dalam pilpres di Zimbwawe, setelah lengsernya diktator Robert Mugabe, Emmerson Mnangagwa, petahana, terpilih sebagai presiden. Lawannya, Nelson Chamisa menggugat hasil pilpres dan mengajukan gugatan ke pengadilan atas hasil pilpres tersebut. Pengadilan memutuskan bahwa Mnangagwa memenangi pilpres tersebut.

 

Chamisa tetap melawan dengan mengajak pendukungnya melakukan aksi damai, sementara Mnangagwa menyerukan: "Nelson Chamisa, my door is open and my arms are outstreched, we are one nation, and we must put our nation first. Lepas dari dinamika tersebut, Zimbwabwe saat ini terus ditempa krisis politik dan ekonomi. Empat dari lima warga mereka berada di bawah garis kemiskinan, pekerja informal mencapai 95%, sementara lapangan kerja hanya tersedia untuk pegawai pemerintah.

 

Rata-rata warga hidup dengan 35 sen sehari, yang hanya cukup untuk membeli segenggam kecil tepung jagung, empat lembar sayuran dan sedikit minyak untuk memasak. Ada istilah mereka untuk hidup seperti itu, yaitu Tsaona, yang artinya hidup dalam kebetulan-kebetulan, sementara elit mereka hidup kecukupan dan korupsi meraja-lela (africanarguments.com).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait