MK: Dalil Pelanggaran TSM Kewenangan Bawaslu
Sengketa Pilpres 2019:

MK: Dalil Pelanggaran TSM Kewenangan Bawaslu

Merujuk UU Pemilu, Mahkamah secara limitatif (membatasi diri) hanya menyelesaikan sengketa hasil Pemilu termasuk Pemilu Presiden, bukan memeriksa hal-hal lain seperti dugaan pelanggaran dan kecurangan yang bersifat TSM.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ekspresi kekecewaan Tim Kuasa Hukum Paslon 02 Prabowo-Sandi saat mendengarkan putusan sengketa hasil Pilpres 2019, Kamis (27/6). Foto: RES
Ekspresi kekecewaan Tim Kuasa Hukum Paslon 02 Prabowo-Sandi saat mendengarkan putusan sengketa hasil Pilpres 2019, Kamis (27/6). Foto: RES

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh dalil permohonan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang dimohonkan pasangan calon nomor urut 02 Prabowo-Sandi. Namun, satu hal menarik dalil permohonan yang dipertimbangkan Mahkamah terkait tudingan pelanggaran/kecurangan pilpres (electoral fraud) bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang kerap dijadikan dalil setiap sengketa Pemilu. 

 

Dalam putusannya, Mahkamah mengutip Pasal 286 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu  dan penjelasannya secara tegas memberi kewenangan penanganan sengketa dalil TSM kepada Bawaslu, bukan wewenang MK. Pemohon seharusnya telah memahami konsep pelanggaran TSM. Untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum, setiap dugaan pelanggaran dan kecurangan bersifat TSM harus memenuhi unsur Pasal 286 UU Pemilu.

 

“Dalil Pemohon soal TSM itu merujuk yurisprudensi yang lama yang diputus berdasarkan UU Pemilu dan UU Pilkada yang lama sebelum berlakunya UU No. 7 Tahun 2017, nyata-nyata sudah tidak relevan dijadikan dasar hukum untuk diterapkan dalam PHPU Presiden 2019 ini,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto saat membacakan putusan MK nomor No. 01/PHPU-PRES/XVII/2019 di ruang sidang MK, Kamis (27/6/2019) malam. Baca Juga: Tiga Kemungkinan Putusan Sengketa Pilpres

 

Pasal 286 UU Pemilu

  1. Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi PenyeIenggara Pemilu dan/atau Pemilih.
  2. (2) Pasangan Calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan rekomendasi Bawaslu dapat dikenai sanksi administratif pembatalan sebagai Pasangan Calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota oleh KPU.
  3. Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.

 

Aswanto menuturkan jika Pemohon membaca Putusan MK Nomor 97/PUUXI/2013 bertanggal 19 Mei 2014, terlihat jelas bahwa rezim Pilkada bukanlah bagian, apalagi sama, dengan Pemilu. Karena nomenklatur dan posisi hukum berbeda antara Pemilu dengan Pilkada, maka menggunakan putusan dan cerita Pilkada (Kotawaringin Barat) untuk kasus Pilpres merupakan analogi yang keliru (qiyas ma’al fariq/fasid) dan tidak dapat dibenarkan secara hukum.

 

“Ini ditegaskan dalam asas nit agit explum litem quo lite resolvit, karena Pemilu dan Pilkada dua kategori hukum yang berbeda, penganalogian keduanya menjadi salah dan kesesatan berpikir. Maka dalil-dalil Pemohon yang menggunakan dasar yurisprudensi Pilkada untuk ‘memaksa’ Mahkamah menerima permohonannya merupakan argumen yang tidak relevan secara kontekstual hukum,” lanjut Aswanto.

 

Menurut Mahkamah, pengalihan kewenangan memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran dan kecurangan bersifat TSM dari Mahkamah kepada Bawaslu merupakan legal policy pembentuk UU untuk memurnikan pelaksanaan Pasal 24C UUD Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan salah satu kewenangan MK “memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Karena itu, pembentuk UU berpandangan kewenangan memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran dan kecurangan bersifat TSM tidak lagi ditangani MK, tetapi ditangani oleh lembaga yang lain, dalam hal ini Bawaslu.

Tags:

Berita Terkait