BPHN Susun Konsep Menghidupkan Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-undangan
Utama

BPHN Susun Konsep Menghidupkan Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-undangan

Usulan untuk dituangan dalam revisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Seminar tentang hukum yang tidak tertulis di Jakarta, diselenggarakan BPHN. Foto: Humas BPHN
Seminar tentang hukum yang tidak tertulis di Jakarta, diselenggarakan BPHN. Foto: Humas BPHN

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) berupaya mendorong agar hukum adat dan berbagai hukum yang hidup di masyarakat wajib menjadi pertimbangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Caranya dengan mengajukan usulan revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Gagasan ini muncul dalam seminar BPHN, di Jakarta, Rabu (27/6).

Seminar bertajuk ‘Pemberdayaan Hukum Tidak Tertulis dalam Grand Design Pembangunan Hukum Nasional’ itu membahas sejumlah masukan untuk merevitalisasi peran hukum tidak tertulis dalam politik hukum nasional. BPHN tengah berupaya memperkuat sinergi berbagai hukum yang hidup di masyarakat ke dalam produk peraturan perundang-undangan.

“Kami berupaya mengusulkan revisi UU No. 12 Tahun 2011 untuk menambahkan ketentuan tersebut,” kata Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN, Liestiarini Wulandari saat diwawancarai hukumonline.

Hukum tidak tertulis yang dimaksud seminar ini mengacu pada berbagai norma hukum adat, hukum agama, dan mekanisme pengaturan lokal yang secara nyata tumbuh dan berkembang di masyarakat. Artinya, ada berbagai tatanan lain yang bukan hukum tertulis berbentuk undang-undang serta turunannya namun diakui masyarakat juga sebagai hukum.

Gagasan BPHN untuk menyusun grand design upaya ini mendapatkan dukungan dari sejumlah ahli hukum. Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, I Nyoman Nurjaya mengatakan bahwa bangsa yang multikultural seperti Indonesia harus responsif dan akomodatif terhadap berbagai keragaman nilai dan tradisi di masyarakat.

“Nilai-nilai, prinsip hukum, dan tradisi folk law wajib diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional dan dituangkan secara konkret ke dalam peraturan perundang-undangan,” katanya di hadapan para peserta seminar.

Nyoman mengatakan bahwa paradigma pembangunan hukum nasional dalam tiga dekade belakangan cenderung menganut sentralisme hukum. Akibatnya, berbagai proses legislasi justru gagal mengakomodasi kemajemukan rasa keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Para anggota parlemen ternyata tidak benar-benar mewakili aspirasi soal rasa keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat.

Tags:

Berita Terkait