Mengurai Kekeliruan Praktik Penanganan Praperadilan
Resensi

Mengurai Kekeliruan Praktik Penanganan Praperadilan

Upaya meluruskan kekeliruan praktik penanganan praperadilan melalui Revisi KUHAP dan/atau Peraturan MA terkait hukum acara praperadilan agar menjadi lebih baik.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

“Kekeliruan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama akan berubah menjadi kebenaran.” Ungkapan ini layak ditujukan dalam praktik penanganan perkara Praperadilan. Sejak lahirnya lembaga praperadilan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 38 tahun silam, praktik praperadilan seolah-olah menggunakan hukum acara perdata. Seperti, pemanggilan dan pemberitahuan dilakukan juru sita; tahapan proses mirip sidang perkara perdata; bahkan eksekusi dilaksanakan oleh ketua pengadilan.

 

Pertanyaannya, apa benar prosedur penanganan perkara praperadilan mesti menggunakan hukum acara perdata? Secara normatif, KUHAP tidak mengatur tegas hukum acara praperadilan. Dalam KUHAP pun tidak ada pasal yang menyebut perkara praperadilan dengan mekanisme perkara perdata. Misalnya, Pasal 101 dan 274 KUHAP tidak dapat diterapkan untuk perkara praperadilan. Selain itu, dari pencatatan register dan penggunaan kode perkara saja jelas menunjukkan praperadilan adalah perkara pidana.

 

Kerancuan atau kekeliruan hukum acara ini diulas lebih dalam melalui buku berjudul Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori dan Praktik: Mengurai Konflik Norma dan Kekeliruan dalam Praktik Penanganan Perkara Praperadilan. Buku setebal 318 halaman ini ditulis oleh D.Y. Witanto, Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), yang baru saja di-soft launching pada Selasa 2 Juli 2019 di Jakarta.      

 

Mengacu Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP, khususnya penggalan frasa “...hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang” menunjukkan praperadilan tak seharusnya menggunakan hukum acara pemeriksaan perkara perdata. Sebab, dalam perkara perdata para pihak tidak dimintai keterangannya secara lisan melalui proses tanya jawab seperti halnya dalam pemeriksaan perkara pidana.

 

Menurut sang penulis, kompetensi relatif pengajuan perkara praperadilan pun menggunakan asas hukum perdata yakni actor sequitur forum rei atau pengajuan gugatan di tempat kedudukan tergugat yang jelas bertentangan dengan semangat pembentukan lembaga praperadilan. Padahal, praperadilan dibentuk sebagai lembaga kontrol horizontal terhadap penerapan segala upaya paksa dalam proses penyidikan dan penuntutan. Baca Juga: Praperadilan Romy Ditolak, Begini Alasan Hakim

 

Tak mungkin ada perkara praperadilan tanpa ada penanganan perkara pokoknya. Karena itu, seharusnya perkara praperadilan diajukan ke pengadilan yang berwenang mengadili perkara pokoknya karena praperadilan satu paket dengan perkara pokoknya. Namun, dalam praktik seringkali ditemui perkara praperadilan diajukan dan diperiksa bukan oleh pengadilan perkara pokoknya. Ini disebabkan karena KUHAP tidak mengatur pengadilan negeri mana yang berwenang mengadili perkara praperadilan, apakah harus wilayah hukum termohon atau tempat tindak pidana itu terjadi seperti diatur Pasal 84 ayat (1) KUHAP?

 

Tak hanya itu, proses pemeriksaan cepat paling lambat 7 hari hakim harus sudah memutuskan sulit diterima logika jika proses pemeriksaan perkara praperadilan seperti perkara perdata. Mulai tahap penyampaian permohonan, jawaban (jawab-menjawab), pembuktian, dan kesimpulan para pihak, hingga eksekusi putusan yang seharusnya dilaksanakan oleh jaksa. Sebagai contoh, pengajuan praperadilan perkara korupsi, seharusnya diajukan ke pengadilan negeri yang ada pengadilan tipikornya untuk mengadili perkara pokoknya.

Tags:

Berita Terkait