Begini Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia
Berita

Begini Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia

Perkawinan harus segera dibatalkan jika tercatat di KUA. Bila perkawinan terjadi di bawah tangan, maka akan batal demi hukum.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Warga Sulawesi Selatan dibuat geger oleh peristiwa pernikahan sedarah antara dua kakak beradik. Pria dengan inisial A (32) nekat menikahi adik kandungnya sendiri F (20) pada 23 Juni lalu di Kalimantan. Informasi pernikahan ini terkuak setelah salah seorang kerabat melaporkan kejadian ini ke pihak keluarga di Kabupaten Bulukumba.

 

Pernikahan sedarah atau incest pada dasarnya adalah pernikahan yang dilarang dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (jika yang menikah beragama Islam).

 

Diuraikan dalam artikel klinik Hukumonline yang berjudul “Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia”, dalam UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, maupun KUH Perdata, perkawinan itu dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas, dan berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

 

Di dalam UU Perkawinan, larangan perkawinan sedarah ini dipertegas dalam Pasal 8 UU Perkawinan. Dalam konteks ini, untuk mencegah terjadinya perkawinan incest, pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan-perkawinan di atas dan Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari pasal di atas.

 

UU Perkawinan

Pasal 8:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

  1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
  2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
  3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
  4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
  5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
  6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Wirdyaningsih, berpendapat jika perkawinan sedarah itu terjadi dan secara sah dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA), maka hal yang wajib dilakukan adalah pembatalan perkawinan ke pengadilan agama. Namun bagaimana jika perkawinan tersebut dilakukan di bawah tangan atau menikah siri?

 

Wirdyaningsih menilai perkawinan sedarah yang dilakukan di bawah tangan dengan sendirinya akan batal demi hukum dan tidak sah karena melanggar UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (bagi yang beragama Islam).

Tags:

Berita Terkait