Mitigasi Potensi Kerugian: Kunci Penting Sebelum Masuk Proses Arbitrase
Utama

Mitigasi Potensi Kerugian: Kunci Penting Sebelum Masuk Proses Arbitrase

Konsep kerugian di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh produk kolonial, sehingga secara sistem hukum Indonesia kerap dianggap belum cukup mapan untuk menangani kasus-kasus yang sangat kompleks dan sophisticated dalam skala Internasional.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Singapore International Arbitration Centre (SIAC) bekerjasama dengan beberapa firma hukum menggelar konferensi internasional bertajuk ‘Damages in international arbitration: contemporary Principles and practices’ di Jakarta, Jumat (5/7). Foto: HMQ
Singapore International Arbitration Centre (SIAC) bekerjasama dengan beberapa firma hukum menggelar konferensi internasional bertajuk ‘Damages in international arbitration: contemporary Principles and practices’ di Jakarta, Jumat (5/7). Foto: HMQ

Menakar kerugian atau potensi kerugian yang mungkin dihasilkan dari suatu kasus sangatlah penting dalam menentukan tindakan terbaik yang bisa diambil. Seperti hukum apa yang berlaku untuk jenis kerugian tertentu? Standar apa yang bisa digunakan untuk membuktikan kerugian? Prinsip atau aturan hukum apa saja yang bisa menghambat? dan masih banyak lagi. Sayangnya hal itu kerap terabaikan, sementara tak semua pengacara memiliki skill jitu untuk menakar potensi itu.

 

Alih-alih meraih keuntungan dari tindakan hukum yang diambil malah kerugian yang berhasil dituai. Terlebih untuk kasus kompleks dalam jangkauan internasional. Untuk mengkaji hal itu, Singapore International Arbitration Centre (SIAC) bekerjasama dengan beberapa firma hukum menggelar konferensi internasional bertajuk ‘Damages in international arbitration: contemporary Principles and practices’ di Jakarta, Jum’at (5/7).

 

Untuk konteks Indonesia, Partner pada firma hukum Ignatius Andy, Ignatius Andy mengungkapkan konsep kerugian di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh produk kolonial abad ke-19, yakni KUHPerdata. Sehingga secara sistem hukum Indonesia kerap dianggap belum cukup mapan untuk menangani kasus-kasus yang sangat kompleks dan sophisticated dalam skala Internasional. Setidaknya itulah yang menjadi kebanyakan alasan bagi para pihak untuk memilih menempuh jalur arbitrase internasional.

 

Sekadar informasi, Ia menjelaskan bahwa kerugian bisa terjadi akibat perbuatan melawan hukum/PMH (action against law) atau wanprestasi (breach of contract). Untuk pemulihan kerugian melalui arbitrase, para pihak hanya bisa menggunakan alasan wanprestasi sedangkan bila menempuh jalur pengadilan baru yang digunakan adalah dalil PMH. Adapun elemen kerugian yang diatur KUHPer, yakni kerugian materiil dan immaterial.

 

Menariknya, tidak ada standar yang baku dalam perhitungan nilai kerugian immaterial dalam kasus perdata di Indonesia. Misalnya penggugat memohonkan ganti rugi materiil sebesar Rp500 juta, nilai kerugian immaterial yang diajukan bahkan bisa sampai miliaran rupiah. Di situ potensi keuntungan yang banyak dimanfaatkan lawyer ketika menempuh jalur pengadilan (court proceeding).

 

“Pertanyaannya, apakah tribunal arbitrase memperbolehkan permohonan ganti rugi immaterial dalam kondisi wanprestasi ini?” katanya.

 

Senior Associate pada fima hukum Assegaf Hamzah & Partner (AHP), Simon Barry Sasmoyo, mengungkapkan hal terpenting dalam menentukan pilihan penyelesaian sengketa baginya adalah kalkulasi kerugian serta memikirkan kemungkinan tercapainya harapan keuntungan bila menempuh jalur penyelesaian sengketa tertentu. Hal itu dianggapnya dapat memitigasi risiko kerugian yang mungkin akan terjadi.

Tags:

Berita Terkait