Alasan Kalangan Buruh Tolak Revisi UU Ketenagakerjaan
Berita

Alasan Kalangan Buruh Tolak Revisi UU Ketenagakerjaan

Karena ketentuan yang diusulkan untuk direvisi dinilai lebih menguntungkan pengusaha dan merugikan buruh.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Alasan Kalangan Buruh Tolak Revisi UU Ketenagakerjaan
Hukumonline

Wacana untuk merevisi UU Ketenagakerjaan kembali mencuat setelah kalangan pengusaha menyampaikan usulan revisi UU Ketenagakerjaan itu kepada Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Kalangan pengusaha mengeluhkan sejumlah ketentuan UU Ketenagakerjaan yang selama ini memberatkan, seperti pesangon, pengupahan, dan fleksibilitas hubungan kerja.

 

Ketua Umum KASBI Nining Elitos mengatakan sejak awal serikat buruh menolak UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena tidak memberi perlindungan yang menyeluruh terhadap buruh. Terbukti, sejak UU Ketenagakerjaan diterbitkan, banyak hak normatif buruh yang diabaikan pengusaha, seperti pembayaran upah minimum, pesangon, dan perjanjian kerja kontrak atau outsourcing.

 

Ketidakberpihakan UU Ketenagakerjaan terhadap buruh, menurut Nining semakin tegas dibuktikan lewat sejumlah putusan MK. Melalui putusan itu, MK sudah menganulir sejumlah pasal dalam UU Ketenagakerjaan. "Arah revisi UU Ketenagakerjaan saat ini tidak melindungi buruh. Presiden Jokowi harus membuat peraturan dan kebijakan yang melindungi buruh," harapnya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Rabu (10/7/2019).

 

Ketua Departemen Perempuan KPBI, Dian Septi melihat kalangan pengusaha mengusulkan agar perjanjian kerja dibuat lebih fleksibel. Misalnya, memperpanjang durasi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak dari 3 menjadi 5 tahun. Kalangan pengusaha juga menuntut perhitungan pesangon sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan untuk direvisi karena dinilai membebani pengusaha.

 

Menurut Dian, perjanjian kerja fleksibel membuat posisi buruh rentan untuk diputus hubungan kerjanya. Kondisi ini sangat menguntungkan pengusaha dan merugikan buruh. Selain itu, aturan pesangon yang berlaku saat ini kerap dilanggar pengusaha. Praktiknya sebagian pengusaha membayar pesangon yang besarannya di bawah ketentuan dan tidak didasarkan pada masa kerja.

 

Praktik ketenagakerjaan di Indonesia, kata Dian, semakin buruk karena lemahnya penegakkan hukum. Persoalan normatif yang dihadapi buruh biasanya berujung ke pengadilan, sekalipun menang, buruh sulit mendapat haknya. Begitu pula persoalan pidana, meski pengadilan sudah memvonis pengusaha bersalah, tapi ada kasus dimana pengusaha itu tidak ditahan.

 

"Kemenangan buruh di pengadilan itu hanya menang di atas kertas," ujar Dian. Baca Juga: Dua Hal Hukum Ketenagakerjaan yang Belum Berjalan Optimal

Tags:

Berita Terkait