3 Alasan Para Filsuf Hukum Minta Amnesti untuk Baiq Nuril
Berita

3 Alasan Para Filsuf Hukum Minta Amnesti untuk Baiq Nuril

Kepentingan negara dalam kasus Baiq Nuril yang disebutkan AFHI adalah anti-diskriminasi terhadap perempuan.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Kepala Staf Kepresidenan Moledoko (kedua kiri) menerima surat permohonan amnesti dari terpidana kasus pelanggaran UU ITE Baiq Nuril Maknun (kedua kanan) didampingi anggota DPR Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka di Kantor Staf Presiden, kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (15/7). Baiq Nuril mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo melalui Kepala Staf Kepresidenan Moledoko. Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman. Foto: RES
Kepala Staf Kepresidenan Moledoko (kedua kiri) menerima surat permohonan amnesti dari terpidana kasus pelanggaran UU ITE Baiq Nuril Maknun (kedua kanan) didampingi anggota DPR Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka di Kantor Staf Presiden, kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (15/7). Baiq Nuril mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo melalui Kepala Staf Kepresidenan Moledoko. Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman. Foto: RES

Para Filsuf Hukum yang bergabung dalam Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) meminta amnesti bagi Baiq Nuril Maknun. Mereka mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan mengajukan tiga alasan agar tak ragu segera memberikan amnesti. AFHI meyakini bahwa Baiq Nuril memiliki hak yang dibenarkan hukum untuk mendapatkan amnesti.

 

Widodo Dwi Putro, Ketua AFHI menyatakan bahwa kasus Baiq Nuril tidak bisa dianggap sebagai masalah tunggal yang berdiri sendiri. “Kasus Nuril adalah bagian dari kekerasan terhadap perempuan,” katanya. Pemidanaan pada Nuril dianggap gagal melihat persoalan hukum secara utuh.

 

AFHI sendiri mengaku tetap menghormati proses peradilan yang telah berlangsung hingga Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Namun mereka meminta Presiden menggunakan kewenangan istimewa miliknya atas dasar kepentingan negara.

 

Dalam surat tertulisnya, AFHI menyatakan agar negara lebih proaktif menggunakan jalan terakhir yang masih tersedia atas nama penegakkan keadilan hakiki. Caranya dengan pemberian amnesti dari Presiden sebagai Kepala Negara.

 

Ada tiga alasan yang diajukan oleh para filsuf hukum ini kepada Presiden. Pertama, konstitusi telah memberikan mandat kepada penyelenggara negara untuk menjamin hak asasi manusia dan hak konstitusi warga negara. Mereka menganggap hasil akhir proses peradilan perkara Nuril telah mencedarai hak asasi Nuril sebagai korban kekerasan terhadap perempuan.

 

Saat ini hanya Presiden yang dianggap AFHI masih memiliki upaya terakhir untuk memenuhi hak Nuril. “Setelah ditolaknya Peninjauan Kembali (PK) maka sistem peradilan untuk perkara tersebut dengan sendirinya selesai. Sekarang ‘bola’ hukum dan politik berada di tangan Presiden,” kata mereka dalam surat tertulisnya.

 

Amnesti ini diyakini AFHI bukan bentuk intervensi Presiden terhadap independensi peradilan. Hanya saja memang ada kewenangan istimewa milik Presiden untuk mengoreksi hasil akhir dari putusan pengadilan dengan memperhatikan pertimbangan rakyat melalui DPR.

Tags:

Berita Terkait