Mungkinkah Menkumham Milenial?
Kolom

Mungkinkah Menkumham Milenial?

​​​​​​​Menempatkan Menkumham milenial memang merupakan sebuah pertaruhan besar.

Bacaan 2 Menit
Mungkinkah Menkumham Milenial?
Hukumonline

Pasca Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden terpilih KH Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai pemenang pemilu pilpres 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 30 Juni yang lalu maka kini polemik yang berkembang adalah terkait kabinet Jokowi- Ma’ruf Amin nantinya pasca dilantik. Salah satu isu yang menarik adalah pemilihan menteri dari kalangan generasi milenial.

 

Jika generasi milenial dinilai layak menjadi menteri maka pertanyaannya adalah mungkinkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dijabat oleh milenial? Merunut pada ide memilih golongan milenial pada jajaran menteri adalah guna mengakomodir pemikiran yang progresif dan out of the box sehingga dapat memberi penyegaran dan tentu saja memberi kontribusi pada perbaikan kualitas kabinet nantinya.

 

Posisi Menkumham yang nantinya memimpin Kementerian Hukum dan HAM termasuk salah satu posisi yang memerlukan perubahan secara progresif dari praktik koruptif yang diduga masih banyak menjalari jajaran Kemenkumham. Misalnya, perlu pemikiran out of the box untuk membenahi persoalan lapas dan praktik koruptif yang telah kronis. Pemikiran mewacanakan posisi Menkumham pada generasi milenial adalah berkaca pada syarat usia minimal pada syarat menduduki posisi tertentu pada ranah penegak hukum, namun hasilnya masih banyak praktik koruptif dan penyimpangan yang terjadi.

 

Di lain pihak tidak dapat dipungkiri bahwa menjadi Menkumham perlu pengalaman dan kompetensi yang benar-benar mumpuni karena Menkumham merupakan posisi strategis dalam kabinet yang biasanya dijabat figur senior dari partai pemenang pemilu. Menempatkan Menkumham milenial memang merupakan sebuah pertaruhan besar, tapi melihat Kementerian Hukum dan HAM yang masih dipenuhi berbagai persoalan hingga banyaknya fungsi yang tidak tertangani dengan baik maka bisa saja pertaruhan memilih Menkumham dari kalangan milenial akan membuahkan perubahan positif.

 

Salah satu persoalan dalam tubuh Kementerian Hukum dan HAM adalah persoalan birokrasi dan cara berpikir yang masih legalistik. Seperti contohnya pada praktik pemberian remisi yang secara ‘taat asas’ mengacu pada aturan yang sudah perlu direvisi, di samping itu banyak persoalan dan kendala birokratis yang menghambat kinerja Kementerian Hukum dan HAM.

 

Pendekatan Progresif

Kalangan milenial dipandang secara progresif mampu memberi efek daya dobrak sebagaimana diuraikan Satjipto Raharjo (2000), bahwa pada esensinya hukum dibuat untuk kemajuan manusia itu sendiri. Mekanisme penerapan hukum dengan pendekatan progresif  adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan mendasar serta melakukan berbagai terobosan hukum. Jika situasi ini terjadi di tubuh Kementerian Hukum dan HAM maka persoalan himpitan birokrasi maupun perspektif legalistik dalam mengelola kementerian dapat terjawab.

 

Beberapa pihak mungkin secara apatis menilai gagasan Menkumham dari kalangan milenial dengan pertimbangan akan terjadi resistensi dan chaos. Menurut Sampaoly (1983), konsep dari chaos theory of law adalah menghentikan ketidakteraturan dengan ketidakteraturan itu sendiri sehingga akan tercipta perubahan (new normal). Memang Kementerian Hukum dan HAM tidak dalam kondisi chaos saat ini, tetapi faktanya Kementerian Hukum dan HAM memerlukan new normal yang mungkin dapat diperoleh dengan pemikiran out of the box yang mampu mengolaborasikan fungsi Kementerian Hukum dan HAM dengan kecerdasan buatan.

Tags:

Berita Terkait