Catatan Pembenahan Hukum Pemerintahan Jokowi Jilid II
Utama

Catatan Pembenahan Hukum Pemerintahan Jokowi Jilid II

Antara lain membangun Polri yang profesional, reformasi sistem dan penegakkan hukum, pencegahan/pemberantasan korupsi, kejahatan perbankan dan pencucian uang, reformasi sistem kepartaian dan lembaga perwakilan, pemberantasan mafia peradilan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kemudahan berusaha. Ilustrator: BAS
Ilustrasi kemudahan berusaha. Ilustrator: BAS

Penyelenggaraan Pemilu 2019 telah berakhir dengan ditetapkannya Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai kandidat Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sebagai petahana, Jokowi punya pekerjaan rumah (PR) untuk menuntaskan agenda kerja sebagaimana tertuang dalam nawacita. Peneliti ICW Donal Fariz mengingatkan 9 agenda nawacita, terutama yang menyangkut sektor hukum dan politik harus diselesaikan pemerintahan Jokowi Jilid II.

 

Fariz menghitung sedikitnya ada 6 poin dalam nawacita yang berkaitan dengan hukum dan politik. Pertama, membangun Polri yang profesional. Fariz menyoroti dari 29.526 anggota Polri yang wajib lapor LHKPN, ada 12.779 orang atau 43 persen yang data LHKPN-nya tidak ditemukan dalam laman KPK.

 

Integrasi dan transparansi data penanganan kasus korupsi secara bertingkat mulai dari Mabes, Polda, dan Polres belum terbuka. Penanganan perkara pidana pun masih berpotensi membuka ruang terjadinya suap, misalnya melalui pemberian SP3. Selain itu, kewenangan Kompolnas lemah karena kewenangannya terbatas. Sistem meritokrasi jabatan strategis Polri masih menyisakan persoalan. Misalnya, perwira tinggi yang pernah terseret masalah hukum malah dipromosikan menjadi Kapolda. Kasus penyerangan Novel Baswedan, Pimpinan KPK, aktivis anti korupsi, dan jurnalis tak kunjung dituntaskan.

 

Kendati demikian, Fariz mengapresiasi Jokowi yang membatalkan usulan pembentukan Densus Anti Korupsi yang ditengarai bakal menggantikan peran KPK. "Langkah Presiden Jokowi membatalkan Densus Antikorupsi layak diapresiasi," kata Fariz dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (17/7/2019). Baca Juga: Pidato Visi Jokowi Dinilai Abaikan Pentingnya Hukum dan HAM

 

Kedua, reformasi kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan. Fariz berpendapat selama 5 tahun periode pertama pemerintahan Jokowi tidak ada agenda kongkrit yang menyinggung soal reformasi kepartaian sebagaimana tercantum dalam nawacita. Pemerintah tidak pernah mengusulkan revisi perubahan UU Partai Politik untuk membenahi tata kelola parpol menuju arah modern, transparan, dan akuntabel. Pemerintah hanya meningkatkan alokasi APBN untuk parpol sebesar seribu rupiah per suara.

 

Ketiga, reformasi sistem dan penegakkan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Fariz melihat agenda reformasi hukum yang dijalankan pemerintahan Jokowi arahnya tidak jelas. Hukum hanya digunakan untuk mendukung pembangunan ekonomi. Penunjukan pimpinan lembaga hukum kental aroma politik akomodasi dan bagi-bagi kekuasaan. Penunjukan pimpinan lembaga ini juga rawan disusupi kepentingan politik parpol. Misalnya revisi UU KPK dan upaya pencabutan PP No.99 Tahun 2012 terkait pemberian remisi.

 

Pemerintah juga belum mampu mewujudkan agenda nawacita terkait RUU Perampasan Aset, RUU Kerjasama Timbal Balik, dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai. Meski demikian, Fariz mengapresiasi pemerintah telah menerbitkan Perpres No. 54 Tahun 2018 tentang  Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, Perpres No.13 Rahun 2018 tentang Pemilik Manfaat (beneficial ownership), dan PP No.43 Tahun 2018 yang mengapresiasi kepada pelapor kasus korupsi.

Tags:

Berita Terkait