YLBHI Nilai RUU Pertanahan Tidak Layak Disahkan
Berita

YLBHI Nilai RUU Pertanahan Tidak Layak Disahkan

Muatan RUU Pertanahan dianggap memberi keleluasaan pada korporasi untuk menggunakan tanah. Sengketa tanah antara masyarakat dengan korporasi sering terjadi.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah bersama DPR RI gencar mendorong Rancangan Undang Undang (RUU) Pertanahan segera disahkan pada tahun ini. Kedua pihak menganggap RUU Pertanahan sebagai jalan keluar dalam memberi kepastian hukum bagi korporasi terhadap tanah. Selama ini, persoalan status tanah dianggap merupakan salah satu hambatan bagi dunia usaha.

 

Namun, rancangan aturan tersebut justru mendapat kritik dari berbagai pihak karena dianggap memberi kewenangan besar pada korporasi. Padahal, dalam permasalahan pertanahan masyarakat sipil justru sering kali menjadi korban dan kehilangan hak atas tanah. Persoalan ini tidak hanya terjadi pada wilayah perkebunan dan pertambangan melainkan perkotaan.

 

Salah satu penolakan terhadap RUU ini disampaikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma Mary Herwati, mengatakan latar belakang RUU Pertanahan yang dimaksudkan untuk melengkapi UU Pokok Agraria justru tidak sesuai atau bertolak belakang. Menurutnya, RUU Pertanahan dapat mengakibatkan konflik-konflik baru soal lahan.

 

“Dalam pandangan YLBHI, RUU yang dimaksudkan untuk melengkapi UUPA ini tidak layak untuk disahkan. Ada berbagai macam persoalan mengenai pengelolaan lahan di Indonesia. Salah satu masalah mendasar adalah banyaknya konflik agraria di seluruh nusantara yang diakibatkan oleh perampasan lahan masyarakat untuk pembangunan perkebunan, industri kehutanan, pertambangan, Taman Nasional, dan pembangunan infrastruktur,” jelas Siti saat dikonfirmasi hukumonline, Jumat (19/7).

 

Dia menjelaskan bagian konsideran RUU Pertanahan juga sudah mengikis filosofi dasar “agraria” dengan menyamakannya dengan “pertanahan”. Padahal dalam UUPA, agraria diartikan tidak hanya terbatas pada tanah, tetapi meliputi ruang di atas tanah dan yang ada di bawah tanah. Sedangkan pengaturan lebih lanjut terdapat dalam UU Tata Ruang, UU Sumber Daya Air, UU Penerbangan, termasuk UU Pertambangan dan Energi dan sebagainya.

 

RUU Pertanahan ini seharusnya memperjelas soal kepastian hukum mengenai pemilikan dan penguasaan tanah dan kepastian itu menyangkut ruang hidup dan kejelasan soal wilayah. Namun, rancangan UU tersebut tidak terlihat memberi perlindungan terhadap masyarakat justru  membuka pintu yang lebar bagi korporasi untuk menguasai tanah.

 

Keleluasaan wewenang korporasi terhadap penguasaan tanah ini terlihat dari pembentukan Bank Tanah. Siti berpandangan pembentukan institusi tersebut bertujuan untuk menggencarkan proyek-proyek infrastruktur sehingga dominasi korporasi terhadap tanah semakin besar.

Tags:

Berita Terkait