Apa Bedanya 4 Hak ‘Sakti’ Presiden: Amnesti, Abolisi, Grasi, dan Rehabilitasi?
Berita

Apa Bedanya 4 Hak ‘Sakti’ Presiden: Amnesti, Abolisi, Grasi, dan Rehabilitasi?

Hak istimewa yang selektif penggunaannya. Harus melibatkan perwakilan rakyat dan Mahkamah Agung.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi amnesti. Ilustrator: BAS
Ilustrasi amnesti. Ilustrator: BAS

Ada empat hak ‘sakti’ milik Presiden yang bisa mengubah nasib tersangka atau terpidana. Hak ini bukan termasuk cabang kekuasaan Presiden sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif, namun juga tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan intervensi pada kekuasaan kehakiman. Ahli hukum tata negara Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono memberikan penjelasan rinci kepada hukumonline soal keempat hak tersebut.

Dilansir dari Antara, Rapat Badan Musyawarah DPR RI, telah menugaskan Komisi III DPR membahas surat Presiden Joko Widodo perihal pemberian amnesti kepada Baiq Nuril. Komisi III memiliki lingkup tugas di bidang hukum, HAM, dan Keamanan.

Dihubungi secara terpisah, Ketua Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Aggono menjelaskan secara rinci soal empat hak ‘sakti’ Presiden yaitu amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi. Keempatnya disebutkan secara langsung dalam konstitusi sejak awal kemerdekaan. “Empat hak istimewa ini warisan bentuk monarki yang dulu dimiliki Raja, pengaruhnya kini melekat pada hak istimewa Presiden dalam sistem presidensial,” kata Bayu, Senin (22/7).

Empat hak istimewa tersebut tidak dapat dianggap sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Bukan pula hak intervensi terhadap kekuasaan yudikatif. “Tujuannya untuk memenuhi nilai kemanusiaan, negara mengedepankan kemanusiaan sebagai kepentingan publik,” ujarnya. Hak istimewa ini tidak menyoal posisi benar atau salah, namun mempertimbangkan kepentingan umum dalam urusan kemanusiaan yang menjadi kepentingan negara.

Sebagai hak istimewa, Presiden harus hati-hati menggunakannya. Mengacu Pasal 14 UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Ketentuan ini sempat berubah dalam konstitusi UUD Sementara 1950. Pasal 107 konstitusi yang hanya sementara itu mengatur bahwa pemberian amnesti, abolisi, dan grasi harus dengan kuasa undang-undang dan meminta pendapat Mahkamah Agung. Kelanjutan dari ketentuan ini adalah terbitnya UU Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.

(Baca juga: Ada Keyakinan Amnesti Baiq Nuril Bakal Disetujui DPR).

Setelah amandemen UUD 1945 di masa reformasi, ada perubahan ketentuan soal empat hak istimewa tersebut. Pemberian grasi dan rehabilitasi harus dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Sementara itu pemberian amnesti dan abolisi harus dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. “Agar Presiden benar-benar selektif dalam menggunakannya, meskipun tidak mengurangi hak Presiden,” katanya.

Bayu menyebutkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ketentuan lebih lanjut keempat hak istimewa itu. Misalnya amnesti dan abolisi pernah diatur dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait