Ragam Cacat Formil Penyebab Kandasnya Sengketa PHPU Pada Tahap Dismisal
Berita

Ragam Cacat Formil Penyebab Kandasnya Sengketa PHPU Pada Tahap Dismisal

Putusan Mahkamah Konstitusi mungkin berbeda, tergantung jenis cacat formilnya.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pileg. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pileg. Ilustrator: BAS

Nasib 260 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) DPR, DPD, DPRD yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi sudah diputuskan dalam sidang dismissal, Senin (22/7). Perkara sengketa hasil pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang lolos tahap dismissal dilanjutkan ke tahap berikutnya: Pemeriksaan Persidangan. Sementara untuk perkara yang tidak lolos harus puas perkaranya berhenti sampai di sini saja. Hasilnya, Mahkamah memutuskan 122 permohonan lanjut ke pemeriksaan pokok perkara.

Anggota Tim Hukum Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam sengketa PHPU Pilpres yang lalu, Gugum Ridho Putra, terdapat sejumlah alasan mendasar yang menjadi penyebab sengekta PHPU harus kandas pada tahap dismisal akibat cacat formil. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2018 dan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2018, ada tujuh bentuk cacat formil yang kerap menjadi penyebab kandasnya Permohonan PHPU Pileg di tahap dismisal.

Pertama, permohonan PHPU diajukan oleh Pemohon yang bukan peserta pemilu. Sekadar mengingat kembali, peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik, dan peserta pemilu DPD adalah perseorangan Caleg DPD. “Jika Pemohon yang mengajukan di luar peserta pemilu, maka dapat dipastikan permohonannya akan dijatuhi putusan NO (niet ontvankelijk verklaard),” ujar Gugum kepada hukumonline, Senin (22/7).

(Baca juga: 122 Perkara Sengketa Pileg Berlanjut ke Sidang Pembuktian).

Begitu juga dengan permohonan PHPU DPR dan DPRD yang diajukan perseorangan Caleg tanpa rekomendasi dari partai pengusung juga akan diputus NO sebab yang bersangkutan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mewakili partai politik peserta pemilu.

Hasil kajian Perkumpulan Pemilu Untuk Demokrasi (Perludem) memperlihatkan ada satu permohonan yang diajukan oleh perseorangan di Provinsi Papua. Pemohon merupakan warga negara aalon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang secara bersamaan mempersoalkan tiga jenis Pemilu, DPR, DPD, dan DPRD. “Warga negara ini dipastikan tidak memiliki legal standing karena dia bukan peserta Pemilu (DPR dan DPRD),” ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.

Alasan kedua, objek perkara yang diajukan bukan Keputusan Perolehan Suara Pileg. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2018 dan No. 3 Tahun 2018 secara tegas menyebutkan bahwa objek perkara PHPU DPR, DPD dan DPRD adalah keputusan tentang penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD secara nasional yang memengaruhi perolehan kursi Pemohon dan/atau terpilihnya calon anggota DPR, DPD dan DPRD di suatu daerah pemilihan. Untuk itu, perkara PHPU Pileg yang mengajukan objek di luar itu dipastikan akan dijatuhi putusan NO karena keliru objek (error in objecto).

Ketiga, permohonan PHPU Pileg yang melewati batas waktu. Menurut Gugum, Peraturan Mahkamah Konstitusi secara tegas menyebutkan jangka waktu pengajuan permohonan adalah 3x24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan hasil suara DPR, DPD dan DPRD secara nasional. Putusan NO karena alasan ini sangat mungkin terjadi jika Pemohon tidak cermat memperhitungkan jangka waktu yang tersedia.

Tags:

Berita Terkait