Implementasi Perhutanan Sosial Era Jokowi Dipertanyakan
Berita

Implementasi Perhutanan Sosial Era Jokowi Dipertanyakan

Implementasi perhutanan sosial hingga mendekati akhir periode pemerintahan, pencapaiannya masih jauh dari target dalam RPJMN 2015-2019. Hanya sekitar 3 juta ha lahan perizinan perhutanan sosial diterbitkan dari target 12,7 juta ha.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi foto: Dok HOL/SGP
Ilustrasi foto: Dok HOL/SGP

Ketimpangan kepemilikan lahan antara masyarakat lokal dengan korporasi menjadi permasalahan yang terus menjadi pembahasan dalam beberapa tahun terakhir. Korporasi menguasai lahan jauh lebih besar dibandingkan masyarakat sehingga konflik atau sengketa lahan antara kedua belah pihak terus bermunculan di berbagai daerah.

 

Salah satu penyelesaian persoalan tersebut sebenarnya telah digulirkan melalui kebijakan perhutanan sosial (PS). Sayangnya, implementasi perhutanan sosial hingga mendekati akhir periode pemerintahan, pencapaiannya masih jauh dari target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Lembaga nirlaba yang fokus pada lingkungan hidup, Walhi menyatakan hanya sekitar 3 juta ha lahan perizinan perhutanan sosial diterbitkan dari target 12,7 juta ha.

 

Perlu diketahui, dasar hukum perhutanan sosial ini tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor. P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Kebijakan ini merupakan salah satu bagian dalam reforma agraria yang dikeluarkan pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla.

 

“Secara keseluruhan tidak tercapainya target menunjukan belum maksimal implementasi program kehutanan sosial. Padahal, perhutanan sosial merupakan sebuah kebijakan menghentikan dominasi korporasi terhadap 33 juta hektar lebih kawasan hutan. Perhutanan sosial ini punya relasi penting terhadap pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat,” jelas Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi,Boy Even Sembiring dalam paparan penelitiannya berjudul “Studi Efektivitas Implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial Selama Periode Jokowi-Jusuf Kalla” di Jakarta, Selasa (23/7).

 

Boy menjelaskan proses perizinan perhutanan sosial yang tidak transparan menjadi salah satu kesulitan bagi masyarakat dalam pengajuan perizinan. Kemudian, konflik lahan di kawasan hutan mengakibatkan tidak dapat diproses perizinan masyarakat untuk mengelola perhutanan sosial. Masyarakat juga enggak menggunakan skema kemitraan kehutanan. Masyarakat cenderung mengajukan usulan perhutanan sosial melalui skema Hutan Desa atau Hutan Kemasyarakatan.

 

“Bagi mereka (masyarakat) bermitra dengan korporasi yang merampas dan menghapus riwayat penguasaan mereka di kawasan hutan yang sudah dikelola turun temurun bukan solusi, melainkan melahirkan stigma buruk atau membenarkan bahwa masyarakat asli tersebut yang mengokupasi areal konsesi korporasi,” tambah Boy.

 

Akselerasi pemanfaatan perhutanan sosial bagi masyarakat ini juga terhalang kebijakan pada Pasal 21 dan Pasal 45 PP 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Ketentuan tersebut mengatur dengan jelas pembatasan lahan hutan gambut fungsi lindung hanya untuk 4 kegiatan, yaitu penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan dan jasa lingkungan. Padahal, terdapat sebagian besar hutan gambut termasuk dalam perhutanan sosial.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait