7 Tantangan Dihadapi Perempuan Ketika Berhadapan dengan Hukum
Utama

7 Tantangan Dihadapi Perempuan Ketika Berhadapan dengan Hukum

Karena regulasi dan aparat penegak hukum dinilai belum peka terhadap gender.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Komnas Perempuan. Foto: SGP
Komnas Perempuan. Foto: SGP

Banyak tantangan yang harus dihadapi kaum perempuan ketika berhadapan dengan mekanisme penyelesaian hukum. Ini disebabkan beberapa faktor mulai minimnya regulasi yang melindungi hak-hak perempuan, perspektif yang keliru, hingga minimnya sensitivitas aparat penegak hukum ketika menangani perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum.     

 

Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro menilai hukum di Indonesia saat ini belum mampu “menangkap” esensi keadilan dalam kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum. Perempuan yang berhadapan dengan hukum meliputi sebagai korban, saksi, dan pihak. Tapi umumnya perempuan yang berhadapan dengan hukum merupakan korban.

 

Melansir data Komnas Perempuan tahun 2018 tercatat ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, 9.637 kasus kekerasan di ranah privat dan 3.915 kasus di ranah publik. Tahun 2017, LBH Apik mencatat dari 308 kasus KDRT hanya 17 kasus yang selesai lewat jalur hukum. Dari data tersebut, kata Atnike, menunjukkan tidak semua kasus yang dihadapi perempuan diselesaikan melalui jalur hukum.

 

Atnike mencatat sedikitnya ada 7 tantangan yang dihadapi perempuan yang berhadapan dengan hukum. Pertama, aparat penegak hukum belum memiliki perspektif gender. Misalnya, dalam perkara Baiq Nuril Maknun, putusan PK perkara ini dinilai tidak memperhatikan Perma No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

 

Majelis tidak mencermati adanya relasi kuasa dalam kasus ini dimana Baiq Nuril sebagai korban berhadapan dengan atasannya. Kedua, perempuan yang berhadapan dengan hukum rentan mengalami reviktimisasi (sering menjadi korban). Ketiga, norma hukum acara masih berorientasi pada hak-hak tersangka/terdakwa. Keempat, masih ada media massa yang mempublikasi identitas perempuan yang menjadi korban.

 

Kelima, perempuan korban diperiksa bersama dengan tersangka/terdakwa. Keenam, perempuan yang berhadapan dengan hukum ada yang tidak didampingi penasihat hukum.Ketujuh,praktik korupsi dan rekayasa bukti dalam proses penegakkan hukum.

 

“Tidak semua perempuan korban mau membawa perkara mereka untuk diselesaikan melalui mekanisme hukum karena banyak tantangan yang dihadapi,” kata Atnike dalam diskusi di STIH Jentera Jakarta, belum lama ini. Baca Juga: Tangani Kasus Perempuan Sebagai Korban? Advokat Perlu Perpektif Ini

Tags:

Berita Terkait