Hikmah Kasus Baiq Nuril, Momen Tepat Revisi UU ITE
Berita

Hikmah Kasus Baiq Nuril, Momen Tepat Revisi UU ITE

UU ini dikhawatirkan dapat disalahgunakan sehingga ada kriminalisasi terhadap pihak yang seharusnya menjadi korban.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Baiq Nuril Maknun. Foto: RES
Baiq Nuril Maknun. Foto: RES

Perjuangan seorang tenaga honorer SMA 7 Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nuril Maknun terus mendapat dukungan dari berbagai pihak. Permohonan Baiq mendapat dukungan dari parlemen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dengan menyetujui amnesti atau peniadaan hukuman terhadap vonis yang menimpanya.

 

Kasus ini bermula saat Baiq Nuril dituduh menyebarkan rekaman percakapan telepon dengan atasannya, Kepala SMAN 7 Mataram, H Muslim. Muslim ditengarai melakukan pelecehan seksual secara verbal dalam percakapan itu. Tak terima tersebar rekaman percakapan itu, Muslim mempolisikan Baiq hingga berujung ke pengadilan.

 

Di pengadilan tingkat pertama Baiq dinyatakan bebas karena tidak terbukti atas dakwaan UU ITE. Atas vonis bebas ini, Jaksa mengajukan kasasi. Dalam putusan kasasi MA, menghukum Baiq selama 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta. Baiq terbukti menyebarkan konten yang mengandung kesusilaanseperti diatur Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 jo UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Belum lama ini, Majelis MA pun menolak permohonan PK Baiq Nuril.

 

Atas putusan PK itu, MA kembali dikritik sebagian kalangan masyarakat. Bahkan, sejumlah pihak dan organisasi masyarakat sipil mendesak Presiden Jokowi untuk memberi amnesti kepada Baiq Nuril ketimbang grasi. Sebab, syarat mendapatkan grasi sangat terbatas yakni bagi terdakwa yang divonis minimal dua tahun penjara, seumur hidup, dan hukuman mati. Sedangkan pidana yang dijatuhkan kepada Baiq hanya 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta.

 

Korban pasal “karet” UU ITE sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, Prita Mulyasari, pasien rumah sakit swasta di Tangerang  mendapat hukuman pidana karena mengeluhkan layanan RS tersebut melalui surat elektronik atau email kepada beberapa rekannya. Prita dijerat setelah satu tahun UU ITE mulai pertama kali diberlakukan.

 

Kondisi ini menyebabkan berbagai kalangan mendesak agar UU ITE segera direvisi. Salah satu usulan tersebut disampaikan Analis Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus. Dia menilai pemberian amnesti kepada korban UU ITE ini tidak cukup sebab persoalan utama terdapat dalam UU tersebut. 

 

“Langkah amnesti ini sudah tepat demi kemanusiaan, tapi tidak cukup untuk Baiq saja. UU ITE telah memakan banyak korban, sekarang sedikit-sedikit orang diancam dengan pidana dalam UU ITE. Sampai-sampai kasus remeh temeh pun dipenjara, UU ITE rawan disalahgunakan,” jelas Yus saat dikonfirmasi hukumonline, Jumat (26/7).

Tags:

Berita Terkait