Begini Metodologi Pembuatan Fatwa MUI
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam perkembangan hukum di Indonesia, salah satunya dalam industri keuangan syariah di Indonesia. Ada berbagai macam latar belakang dikeluarkannya fatwa. Fatwa bisa dibuat karena amanah perundang-undangan dan bisa pula atas permintaan masyarakat atau untuk menjawab suatu masalah di tengah masayarakat. Jadi, bagaimana metodologi pembuatan fatwa itu sendiri?
Ketua MUI Kiyai Maruf Amin mengatakan bahwa Fatwa mengikat kepada umat yang menjadi landasan disiplin, sumber inspirasi dalam melaksanakan berbagi macam tugas-tugas. Fatwa MUI dikeluarkan guna memberikan petunjuk-petunjuk, salah satunya petunjuk dari undang-undang.
Misalnya, Fatwa tentang Keuangan Syariah. Fatwa ini adalah petunjuk untuk pembentukan UU Keuangan Ekonomi Syarian. Jadi, yang harus menentukan sesuai dengan syariah itu harus MUI.
“Oleh karena itu, secara otomatis fatwa MUI menjadi acuan dan dijadikan sumber untuk peraturan perundang-undangan yang berbasis syariah, di antaranya ekonomi syariah dan keuangan syariah,” kata Maruf, di Hotel Margo Depok, Kamis (27/7).
Maruf menjabarkan metodelogi yang dipakai MUI dalam membuat Fatwa. Sebelum fatwa ditetapkan, MUI melakukan kajian komprehensif guna memperoleh deskripsi utuh tentang masalah yang sedang dipantau. Tahapan ini disebut tashawwur al-masalah. Selain kajian, tim juga membuat rumusan masalah, termasuk dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis dari beragam aspek hukum (syariah) yang berhubungan dengan masalah.
“Fatwa harus berdasarkan Al-Quran dan Hadist,” kata dia.
Namun, jika Hadist dan Alquran tidak ada yang shahih, maka MUI menelusuri kembali dan menelaah pandangan fuqaha (ahli fikih) mujtahid masa lalu, pendapat pada imam mazhab dan ulama, telaah atas fatwa terkait, dan mencari pandangan-pandangan para ahli fikih terkait masalah yang akan difatwakan.
(Baca: Fatwa MUI tentang Medsos Selaras dengan UU ITE)
Bila pandangan para ulama terdahulu sudah tidak relevan lagi, kata Maruf, maka kita telaah ulang pendapat yang lama. Kemudian, menugaskan anggota Komisi Fatwa atau ahli yang memiliki kompetensi di bidang masalah yang akan difatwakan untuk membuat makalah atau analisis. Jika yang dibahas sangat penting, pembahasan bisa melibatkan beberapa Komisi lain.
Jika telah jelas hukum dan dalil-dalilnya (ma’lum min al din bi al-dharurah), Komisi Fatwa akan menetapkan fatwa dengan menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya. Adakalanya masalah yang ditanyakan sudah jelas jawabannya dalam syariah.
Lanjutnya, mendiskusikan dan mencari titik temu jika ternyata ada perbedaan pendapat (masail khilafiyah) di kalangan ulama mazhab. Hasil titik temu pendapat akan sangat menentukan. Ada metode tertentu yang bisa ditempuh untuk mencapai titik temu, atau jika tidak tercapai titik temu.
Kemudian, kata dia, Ijtihad kolektif di antara para anggota Komisi Fatwa jika ternyata tidak ditemukan pendapat hukum di kalangan mazhab atau ulama. Metode penetapan pendapat itu lazim disebut bayani dan ta’lili, serta metode penetapan hukum (manhaj) yang dipedomani para ulama mazhab.
Dalam hal terjadi perbedaan pandangan di antara anggota Komisi Fatwa, dan tak tercapai titik temu, maka penetapan fatwa tetap dilakukan. Cuma, perbedaan pendapat itu dimuat dan diuraikan argumen masing-masing disertai penjelasan dalam hal pengamalannya sebaiknya berhati-hati dan sedapat mungkin keluar dari perbedaan pendapat.
Penetapan fatwa senantiasa memperhatikan otoritas pengaturan hukum oleh syariat serta mempertimbangkan kemaslahatan umum serta tujuan penetapan hukum (maqashid al-syariah).
“Jika pembahasan ditemukan satu pendapat, maka pendapat itu yang digunakan. Namun, jika pendapat itu ditemukan lebih dari satu pendapat. Maka, mengkompromikan pendapat itu, supaya pendapat itu dapat disimpulkan,” jelasnya.
Namun, jika pendapat yang disimpulkan itu juga tidak bisa maka dicari pendapat mana yang lebih kuat. Lanjut Maruf, kita juga mengambil pendapat yang mudah sepanjang kemudahan itu masih dalam bingkai berpikir yang benar. Kemudahan yang masih dalam keadaan proporsional dan sepanjang kemudahan itu tidak dosa.
“Tapi, bukan mencari kemudahan yang berlebih-lebihan, itu tidak boleh,” ujarnya. “Yang pasti MUI selama ini mengambil pendapat yang moderat, bukan pendapat yang keras. Dan, tidak memudah-mudahkan dan menggampang-gampangkan. Jadi, fatwa MUI berada ditengah-tengah. Tidak yang keras dan tidak yang mudah,” sambung Maruf.
Maruf mengatakan hal ini penting dipahami komisi fatwa daerah-daerah, supaya dalam membuat fatwa MUI daerah tidak bertabrakan dengan fatwa MUI pusat. “Apabila terjadi perbedaan maka harus dilakukan koordinasi,” kata dia.
Apabila Anda menggunakan Private Browsing dalam Firefox, "Tracking Protection" akan muncul pemberitahuan Adblock. Anda dapat menonaktifkan dengan klik “shield icon” pada address bar Anda.
Terima kasih atas dukungan Anda untuk membantu kami menjadikan hukum untuk semua