Diskriminasi Kerja Kaum Minoritas: Perspektif Perbandingan Hukum
Kolom

Diskriminasi Kerja Kaum Minoritas: Perspektif Perbandingan Hukum

Selain tinjauan dari perspektif norma dasar, kita juga bisa melakukan analisis berdasarkan konsistensi materi yang diatur pasal-pasal lain dalam UU Ketenagakerjaan.

Nugroho Eko Priamoko. Foto: Istimewa
Nugroho Eko Priamoko. Foto: Istimewa

Di bulan Mei lalu, kita mendengar berita tentang seorang anggota polisi di Polda Jateng yang diketahui sebagai seorang homoseksual dan kemudian diberhentikan dengan tidak hormat. Yang bersangkutan kemudian mengajukan gugatan atas keputusan pemberhentiannya di PTUN Semarang. Atas gugatan tersebut, majelis hakim PTUN Semarang kemudian memutuskan untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena dianggap prematur, yaitu Penggugat belum menempuh upaya adminsitratif yang tersedia.

 

Nampaknya setelah gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, tidak ada upaya lebih lanjut dari Penggugat dan masalah tersebut tidak muncul lagi dipermukaan. Ceritanya akan berbeda jika majelis hakim memutuskan untuk memeriksa pokok perkara, boleh jadi akan terjadi diskusi di ruang publik yang cukup hangat, mengingat permasalahan yang diangkat masih merupakan isu yang sensitif.

 

Meskipun anggota Polri, seperti halnya anggota TNI dan PNS tidak tunduk pada UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan memiliki aturan sendiri, namun masalah serupa dapat juga terjadi pada pekerja sektor privat yang tunduk pada UU No.13 tahun 2003. Pertanyaan yang akan muncul adalah, apakah pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja adalah seorang homoseksual, merupakan suatu bentuk diskriminasi hubungan kerja yang dilarang.

 

Tidak hanya di Indonesia, di negara yang lebih liberal seperti di Amerika Serikat, masalah ini juga masih menjadi kontroversi dan perdebatan. Melalui tulisan ini Penulis ingin mengajak pembaca melihat bagaimana dinamika pengaturan masalah diskriminasi hubungan kerja terhadap kaum minoritas (LGBT), di Amerika Serikat dalam perspektif perbandingan hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki, studi perbandingan hukum adalah kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain dengan menyingkap latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu yang dapat direkomendasikan bagi pembaharuan hukum.( Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 173.) Di bagian akhir Penulis akan membandingkan aturan di bawah rezim UU No.13 tahun 2003 mengenai permasalahan tersebut.

 

Penulis menyebut Amerika Serikat memiliki hukum yang liberal, karena ia telah mengalami evolusi sedemikian rupa dengan mengakui keberadaan kaum LGBT. Evolusi tersebut dapat dilihat dari putusan-putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat sebagai berikut:

  • One, Inc. v. Olesen, tahun 1958, dimana Otto Olesen seorang petugas pos di Los Angeles menggugat One: The Homosexual Magazine karena memuat materi yang tidak senonoh. Gugatan tersebut ditolak oleh pengadilan dengan dasar hak kebebasan berpendapat. Putusan ini dipandang sebagai keputusan Mahkamah Agung pertama yang berpihak kepada kaum LGBT.
  • Romer v. Evans, tahun 1996, dimana Richard G. Evans seorang warga Colorado menggugat Roy Romer, Gubernur Colorado, karena negara bagian Colorado mengeluarkan peraturan yang melarang pemerintah negara bagian tersebut memberikan status perlindungan pada warganya atas dasar orientasi seksualnya. Evans menggugat dengan dalih bahwa peraturan tersebut melanggar aturan konstitusi mengenai kesetaraan perlindungan warga negara. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut. Putusan ini di kemudian hari menjadi dasar bagi pengadilan untuk memberikan perlindungan yang lebih luas bagi kaum LGBT.
  • Lawrence v. Texas, tahun 2003. Kasus ini bermula dari penangkapan John G. Lawrence oleh pihak berwenang Texas karena melakukan perbuatan asusila dengan pasangannya yaitu Tyron Garner. Penangkapan tersebut dilakukan atas dasar aturan anti sodomi negara bagian Texas. Lawrence kemudian menggugat untuk membatalkan aturan tersebut dengan dalih bahwa peraturan tersebut melanggar aturan konstitusi mengenai kesetaraan perlindungan warga negara. Mahkamah Agung, dengan merujuk pada preseden kasus Romer v. Evans mengabulkan gugatan tersebut.
  • Obergefell v. Hodges, tahun 2015. Di kasus ini Mahkamah Agung juga sekaligus memeriksa lima kasus sejenis dari negara bagian Michigan, Ohio, Kentucky dan Tennessee. Para penggugat dalam perkara-perkara tersebut menggugat negara bagiannya karena telah menolak pendaftaran pernikahan sejenis dengan mendalilkan bahwa tindakan negara-negara bagian tersebut melanggar aturan konstitusi mengenai kesetaraan perlindungan warga negara. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut dan memerintahkan pendaftaran pernikahan sejenis tersebut.

 

Selain putusan-putusan yang menguntungkan kaum LGBT tersebut, sebetulnya ada juga putusan yang kurang menguntungkan, misalnya dalam kasus Boy Scouts of America v Dale di tahun 2000 yang membenarkan  larangan homosksual ikut dalam kegiatan pramuka. Perlu juga untuk digarisbawahi pula bahwa perkara-perkara tersebut tidak diputuskan oleh Mahkamah Agung dengan suara bulat. Sebagai contoh, dalam putusan terakhir, yaitu Obergefell v. Hodges, majelis terbelah dengan perbandingan 5:4. Polarisasi ini juga menggambarkan polarisasi dalam masyarakat, yaitu antara kubu konservatif dan kubu liberal.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait