Constitutional Question dan Peraturan Daerah yang Bermasalah
Kolom

Constitutional Question dan Peraturan Daerah yang Bermasalah

Wewenang seorang hakim untuk mengajukan constitutional question dapat diadopsi di Indonesia.

Timothée Kencono Malye dan Mochamad Adib Zain. Foto: Istimewa
Timothée Kencono Malye dan Mochamad Adib Zain. Foto: Istimewa

Dalam konteks Indonesia sebagai negara kesatuan, sebuah undang-undang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Presiden. Khususnya peraturan yang bersifat membatasi hak asasi manusia, seperti peraturan pidana, harus dirumuskan pada tingkat undang-undang, yang merupakan produk dari Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden.

 

Sekadar informasi, contoh pembatasan hak asasi manusia dalam hukum pidana adalah, antara lain, hukuman penjara. Rasio di balik gagasan ini adalah karena dalam negara kesatuan yang demokratis, para pelaksana kedaulatan rakyat adalah mereka yang dipilih melalui pemilihan langsung dalam hal ini adalah perwakilan rakyat di DPR bersama presiden. Dengan demikian, legitimasi mereka dalam merumuskan peraturan dengan sifat membatasi hak asasi manusia bisa dikatakan lebih valid. Gagasan peraturan pidana yang harus ditetapkan pada tingkat undang-undang ini adalah selaras dengan pendapat Profesor Andi Hamzah.

 

Konstruksi hukum yang disebutkan di atas menjadi ambigu sejak diterbitkannya UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Dalam UU tersebut, dengan dalih otonomi daerah, pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengeluarkan peraturan yang dianggap relevan dengan konteks lokal mereka. Peraturan juga dapat berisi materi pemidanaan. Ini berarti bahwa para hakim memiliki kewajiban untuk menegakkan peraturan pemerintah daerah, yang meliputi hukum pidana, melalui mekanisme persidangan, dengan bentuk akhir berupa vonis hakim.

 

Terkait ini, perlu diingat bahwa hasil studi Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah menyebutkan bahwa 50,5% dari 1.082 peraturan daerah yang dikaji bermasalah, mencakup masalah yang terkait dengan kecenderungan diskriminasi. Dari data tersebut kita dapat simpulkan bahwa ada potensi inkonstitusionalitas dalam peraturan daerah.

 

Masalahnya adalah, meskipun misalnya seorang hakim berpikir bahwa sebuah peraturan daerah mempunyai tendensi inkonstitusionalitas, ia masih memiliki kewajiban untuk mengimplementasikannya melalui putusan. Sebagai gambaran, dalam situasi di mana hakim memimpin sidang tindak pidana ringan yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

 

Peraturan tersebut menetapkan bahwa siapa pun di Kota Tangerang yang melakukan tindakan pelacuran akan diancam kurungan maksimal tiga bulan. Juga dalam peraturan itu, kata "pelacuran" didefinisikan sebagai tindakan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita dengan tujuan mendapatkan pembayaran.

 

Terkait dengan hal ini, perlu diketahui bahwa pengaturan tersebut tidak sejalan dengan semangat pasal-pasal serupa dalam Wetboek van Strafrecht (KUHP Indonesia). KUHP, yang berlaku secara nasional, hanya mengancam pidana seorang perantara dari tindakan pelacuran. Para perantara, yang biasa disebut sebagai mucikari, dapat dipenjara karena perilakunya menyerupai tindakan perdagangan manusia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait