Penjatuhan Pidana Bagi Korporasi di Indonesia: Sebuah Dilema?
Kolom

Penjatuhan Pidana Bagi Korporasi di Indonesia: Sebuah Dilema?

Kemampuan penyidik dan penuntut umum dalam melakukan pemeriksaan terhadap korporasi sebagai pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dianggap masih ada kelemahan.

Bacaan 2 Menit
Penjatuhan Pidana Bagi Korporasi di Indonesia: Sebuah Dilema?
Hukumonline

Seiring perkembangan hukum maupun kasus yang terjadi yang melibatkan korporasi, terdapat permasalahan penegakan dan pertanggungjawaban pidana korporasi. Wacana KPK akan menyeret korporasi sebagai pihak yang juga bertanggung jawab dalam kasus Meikarta dan Kasus Suwir Laut, tax manager dari korporasi Asian Agri Group (selanjutnya ditulis AAG) merupakan kasus yang menarik.

 

Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum hanya mendakwa Suwir Laut, tetapi hakim menjatuhkan pidana terhadap 14 perusahaan dalam AAG untuk membayar pajak terhutang kepada negara. Kasus lainnya yakni Indar Atmanto  jaksa mendakwa naturlijk persoon, tapi hakim juga menjatuhkan pidana kepada korporasi.

 

Pada tahun 2017 dan 2018, MA mengakui putusan AAG dan PT. IM2, dimana korporasi yang tidak didakwa kemudian dipidana, dianggap sebagai suatu penemuan hukum oleh hakim. Masihkah penjatuhan pidana bagi korporasi menjadi dilema, inilah yang akan penulis bahas dalam tulisan ini.

 

Kekosongan Hukum dan Penemuan Hukum

Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sepatutnya memiliki kebebasan dalam menjalankan tugasnya, yaitu mengadili suatu perkara. Dalam mengadili suatu perkara, hakim melaksanakan tiga tahapan, yaitu mengkonstatir, mengkualifikasi, dan mengkonstituir.

 

Peran hakim pada tahapan kedua, di mana hakim mengkualifikasi suatu perbuatan konkret ke dalam suatu peraturan hukum, akan lebih mudah jikalau peraturannya telah ada dan telah jelas. Dalam hal inilah hakim menerapkan undang-undang layaknya silogisme hakim berperan sebagai corong undang-undang. Peran lebih dari hakim diperlukan ketika hakim berhadapan dengan suatu peristiwa hukum yang belum diatur secara jelas atau terperinci dalam peraturan perundang-undangan. (Ahmad Rifai, 2010)

 

Kebebasan hakim dalam bentuk penemuan hukum saat mengadili perkara semakin diperlukan. Pada dasarnya kewenangan hakim untuk melakukan penemuan hukum telah diatur pula dalam UU Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1). Berdasarkan ketiga pasal tersebut, hakim mengadili menurut hukum (tertulis maupun yang tidak tertulis), hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, serta dilarang menolak suatu perkara atas alasan tidak adanya hukum atau ketidakjelasan hukum.

 

Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim bukanlah tanpa batas. Terdapat batasan-batasan yang perlu diperhatikan dan ditaati oleh hakim dalam melakukan penemuan hukum, yaitu:

Tags:

Berita Terkait