Masih Berfilosofi Kolonial, Diharapkan RKUHP Tidak Buru-Buru Disahkan
Berita

Masih Berfilosofi Kolonial, Diharapkan RKUHP Tidak Buru-Buru Disahkan

Pembentuk UU diminta menghapus sejumlah pasal yang masih bernuansa kolonial Belanda yang menyasar kelompok rentan dan program pembangunan; mengurangi penerapan pidana penjara; besaran ancamannya; dan mengganti pidana penjara dengan bentuk pidana alternatif.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus dibahas. Panitia Kerja (Panja) RKUHP di DPR dan pemerintah nampaknya bakal “memaksa” untuk mengesahkan RKUHP sebelum berakhirnya keanggotaan DPR masa bhakti 2014-2019. Persoalannya, sejumlah pasal RKUHP dinilai masih sangat kental filosofi kolonial.     

 

“Filosofi kolonial dalam RKUHP masih sangat kental dan secara mudah nampak dalam beberapa pasal-pasal sebagai hasil duplikasi besar-besaran dari KUHP yang saat ini berlaku,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (15/8/2019).

 

Dia mengkritik alasan Tim Perumus RKUHP (pemerintah) bahwa RKUHP diperlukan perubahan karena KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini sudah berumur 103 tahun dan peninggalan kolonial Belanda, sehingga perlu diubah filosofinya. Namun faktanya, draft RKUHP yang ada saat ini justru masih sangat kental filosofi kolonialnya.

 

Anggara menilai ada tiga hal atau indikator yang menunjukan draf RKUHP masih berfilosofi kolonial. Pertama, masih diaturnya pasal-pasal inkonstitusional dan warisan penjajahan Belanda. Seperti, pasal larangan promosi alat kontrasepsi yang sejatinya tidak pernah digunakan lagi. Secara de facto pasal itu sudah “dimatikan” melalui Surat Jaksa Agung tanggal 19 Mei 1978.

 

Selain itu, kata Anggara, RKUHP masih menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Padahal, pasal penghinaan presiden sudah dinyatakan inkonstititusional melalui putusan MK karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan turunan dari kebijakan aturan penjajahan zaman Hindia Belanda. Baca Juga: Polemik Living Law, Muncul Gagasan Kompilasi Hukum Pidana Adat

 

Kedua, pasal-pasalnya bergaya kolonialisme menyasar rakyat Indonesia kelompok rentan, seperti anak-anak dan perempuan. Sebagai contoh, RKUHP dapat mengancam perempuan korban perkosaan yang ingin mengugurkan kandungannya. Beberapa pasal dalam RKUHP  juga berpotensi menghambat program kesehatan dan akses terhadap layanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS. Seperti pasal larangan penyebaran informasi tentang kontasepsi.

 

“Mengutip hasil studi BPHN tahun 1995-1996 menyebutkan salah satu pencegah penularan HIV/AIDS menggunakan kondom (alat kontrasepsi) yang relatif paling aman dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis, belum ada penggantinya yang lebih efektif,” lanjutnya.

Tags:

Berita Terkait