Hermeneutika Hukum, Jalan Falsafati Memahami Teks-Teks Hukum
Potret Kamus Hukum Indonesia

Hermeneutika Hukum, Jalan Falsafati Memahami Teks-Teks Hukum

Berasal dari nama Dewi Hermes. Ilmu hukum adalah sebuah eksemplar hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Manakala seorang hakim diberi tugas mengadili dan menyelesaikan suatu masalah hukum, maka ia acapkali melalukan kegiatan interprestasi. Bagaimanapun, hakim berkewajiban secara moral memahami fakta yang terjadi dan masalah hukum yang timbul dari peristiwa. Lalu, ia menerapkan hukum yang benar terhadap kasus tersebut. Jadi, seorang hakim bukan hanya berusaha memahami dan menginterpretasi teks yuridis, tetapi juga interpretasi terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum.

 

Barangkali, konsep ‘penyalahgunaan wewenang’ yang dianalisis hakim agung H. Yulius ini pas dijadikan contoh untuk menggambarkan peran penting para pemangku kepentingan hukum menggunakan hermeneutika. Detournement de pouvoir, begitu konsep ini dikenal di Perancis, dimuat dalam Pasal 53 ayat (2) hurub b UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

 

Konsep menyalahgunakan wewenang diatur pula dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan kemudian juga menyinggungnya. Lantas, apakah berbeda istilah ‘penyalahgunaan wewenang’ dan ‘penyalahgunaan kewenangan’ yang digunakan dalam perundang-undangan tersebut?. Dalam salah satu tulisannya di Varia Peradilan (November 2015), Yulius menggunakan optik hermeneutika hukum untuk melihat makna ‘penyalahgunaan wewenang’. (Baca juga: Mahasiswa harus Diajari Filsafat Hukum Sejak Dini)

 

Di sinilah peran hakim memahami dan menafsir teks perundang-undangan sekaligus menginterpretasi kenyataan yang menimbulkan masalah hukum. Begitu pula pemahaman yang ditarik sejumlah pengkaji hermeneutika hukum seperti B. Arief Sidharta. Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung ini telah menghadap sang Khalik pada 24 November 2015 lalu, tetapi namanya dikenang sebagai seorang akademisi Indonesia yang mengawali kajian tentang hermeneutika hukum di Tanah Air. Dapat disebut bahwa tulisan tentang hermeneutika dalam ilmu hukum belum banyak. Tulisan Arief, yang menjadi bagian dari disertasinya, termasuk yang paling awal, termasuk tulisan Ruslan Saleh, “Pandangan Hukum Hermeneutis”.

 

Mengutip Hans George Gadamer (1965), Arief Sidharta memaparkan ilmu hukum ada sebuah eksemplar hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat. “Hermeneutika itu suatu aliran kefilsafatan,” kata Muhammad Ilham Hermawan kepada hukumonline. Hermeneutika itu adalah rumah besar pembacaan teks atau hal tertentu yang di dalamnya banyak aliran pemikiran.

 

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Pancasila itu tertarik menggunakan hermeneutika dalam penulisan disertasinya setelah mendengarkan kuliah Arief Sidharta. Ia menjelaskan hermeneutika penting bagi ilmu hukum sebagai tendensi lawan terhadap suatu fondasi berpikir yang telah mapan dan menghegemoni semua pemikiran. Minimal, hermeneutika hadir sebagai tendensi lawan atas kegelisahan hegemoni positivisme. Hermeneutika berbeda dari penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. “Pemikiran hermeneutik itu tidak tunggal seperti penafsiran dalam ilmu hukum,” jelasnya. “Itu beyond interpretasi,” sambungnya.

 

Ilham adalah generasi penerus di bawah Prof. B Arief Sidharta yang menekuni hermeneutika hukum. Bisa disebut literatur tentang hermeneutika hukum belum banyak dibandingkan kajian tentang keadilan, misalnya. Tetapi semakin banyak kajian hermeneutik yang dapat ditelusuri. Untuk melihat bagaimana penafsir menggunakan hermeneutika, maka harus dilihat aliran mana yang dipilih.   

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait