Menyelami Frasa “Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual” Oleh: Riki Perdana Raya Waruwu*)
Kolom

Menyelami Frasa “Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual” Oleh: Riki Perdana Raya Waruwu*)

Relasi kuasa dalam kekerasan seksual merupakan unsur yang dipengaruhi oleh kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan korban.

Bacaan 2 Menit
Riki Perdana Raya Waruwu. Foto: Istimewa
Riki Perdana Raya Waruwu. Foto: Istimewa

Maksud dari kata “menyelami” tentu bukan berdasarkan teks melainkan konteks orisinil dari relasi kuasa sebagai suatu modus terjadinya kekerasan seksual yang polanya semakin kompleks, misalnya kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik kepada siswi, oleh atasan di tempat kerja, oleh pimpinan organisasi tapi yang menjadi soal adalah tindaklanjut proses hukum atas perbuatan tersebut. Dalam menjawab kegamangan ini, perlu diuraikan kedudukan korban dan pelaku dalam kekerasan seksual.

 

Pelaku merupakan pihak yang memiliki kuasa di dalam suatu relasi/hubungan. Menurut Michael Foucault seorang filsuf pelopor strukturalisme, kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan dan kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, karena pengetahuan selalu punya efek kuasa. Hal ini berarti, di dalam suatu relasi antar individu maka pengetahuan akan dirinya dan orang lain di saat bersamaan dapat menciptakan kekuasaan.

 

Dalam uu yang eksis tidak ditemukan pengertian relasi kuasa secara khusus namun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum mengatur bahwa Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.

 

Ada dua unsur penting dalam pengertian relasi kuasa di atas yakni pertama sifatnya hierarkis yang meliputi posisi antar individu yang lebih rendah atau lebih tinggi dalam suatu kelompok atau tanpa kelompok. Kedua adalah ketergantungan, artinya seseorang bergantung pada orang lain karena status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi. Kedua unsur relasi kuasa tersebut ketahui oleh individu sebagaimana dimaksud Michael Foucault sehingga menimbulkan kekuasaan yang berpotensi disalahgunakan atau kalimat lainnya disebut penyalahgunaan keadaan.

 

Pada ranah hukum perdata istilah penyalahgunaan keadaan dikenal dengan Misbruik Van Omstadigheden (MvO) sebagai salah satu alasan pembatalan perjanjian yang diakui dalam praktik peradilan berdasarkan Yurisprudensi, bukan alasan yang ditemukan dalam KUHPerdata. MvO bisa terjadi karena adanya kepentingan ekonomi, politik, keamanan, sosial dan lain sebagainya. Hal ini, berarti MvO tidak diakomodir dalam hukum perdata materil karena merupakan perbuatan yang berkembang dalam relasi kuasa namun praktik peradilan telah menjangkaunya melalui rechtvinding yang tertuang dalam putusan-putusan hakim sedangkan dalam ranah hukum pidana, sistem peradilan pidana tidak mampu memaksakan perbuatan pelaku yang tidak memenuhi unsur-unsur delik karena asas legalitas menyatakan “setiap orang dapat dipidana hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya”.

 

Fakta dan Hukum

Dalam pemberitaan di sejumlah media massa, baik cetak mapun elektronik, peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak semakin sering terjadi. Komnas Perempuan merilis catatan tahunan 2018, dengan jumlah kasus kekerasan seksual sebanyak 406.178 (naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466) sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan hasil dari pengawasannya bahwa kasus kekerasan seksual di sekolah dasar terjadi di 9 lokasi dengan jumlah korban mencapai 49 peserta didik, baik anak laki-laki dan perempuan. Sementara di tingkat Sekolah menengah pertama, kekerasan seksual terjadi di 4 lokasi dengan korban mencapai 24 peserta didik.

 

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena sesungguhnya negara mesti hadir dengan seluruh elemen yang dimilikinya, baik itu pejabat pengambil kebijakan, penegakan hukum, dan masyarakat agar secara terpadu berupaya menghapuskan kekerasan seksual, sesuai judul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Tags:

Berita Terkait