Desakan Tunda Pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Menguat, Ini Alasannya
Berita

Desakan Tunda Pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Menguat, Ini Alasannya

​​​​​​​Rumusan RUU ini sangat menekankan pada pendekatan “state centric”, sehingga gagal untuk memberikan kejelasan untuk memastikan perlindungan keamanan individu.

Oleh:
Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan. Foto: DAN
Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan. Foto: DAN

Pada Juli 2019 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber menjadi RUU usulan DPR. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan bersama dengan pemerintah. Di internal pemerintah sendiri, saat ini sedang berupaya untuk merampungkan proses penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU tersebut sebagai syarat dilakukannya pembahasan bersama DPR.

 

Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan menilai materi RUU ini belum sesuai dengan aturan keamanan siber yang baik. “Ada sejumlah inkonsistensi pengaturan antar pasal, ketidakjelasan fokus pengaturan, hingga besarnya potensi ancaman terhadap kebebasan sipil,” ujar Deputi Direktur Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar dalam konferensi pers di kantor Imparsial, Minggu (19/8).

 

Menurut Wahyudi, sebagai sebuah rancangan aturan yang akan menjadi panduan dalam keamanan siber di Indonesia, rumusan RUU ini sangat menekankan pada pendekatan “state centric”. Akibatnya, RUU tersebut gagal untuk memberikan kejelasan untuk memastikan perlindungan keamanan individu, perangkat, dan jaringan dalam ruang siber.

 

Selain itu, pada ketentuan umumnya, RUU ini juga lebih banyak memberikan definisi yang identik dengan pengaturan keamanan nasional pada aspek pertahanan, tetapi malah melupakan elemen-elemen dalam keamanan siber, seperti sistem komputer, perangkat, jaringan siber.

 

Wahyudi menilai, perumusan aturan dalam rancangan ini juga telah menciptakan ambiguitas dalam tata kelola dan kerangka kerja kelembagaan yang berwenang dalam pengelolaan keamanan siber sehingga yang berpotensi menimbulkan tumpeng tindih kewenangan, bahkan sengketa kewenangan diantara mereka.

 

“RUU ini belum mampu mengidentifikasi dengan baik kebutuhan kebijakan dan peran bagi tiap sektor dalam penyelenggaraan keamanan siber, sehingga belum bisa menghadirkan kerangka kerja dan tata kelola keamamanan siber yang baik dan jelas,” ujarnya.

 

Situasi ini justru dapat menciptakan kerentanan dan kerawanan dalam keamanan siber, khususnya bagi bisnis dan masyarakat sebagai pengguna, karena adanya ketidakpastian dalam pembagian peran antar-sektor. Di sisi lain, dalam menghadapi ancaman siber, pemerintah sudah memiliki beragam aturan dan institusi yang berkerja untuk menanganinya sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing masing.

Tags:

Berita Terkait