Menafsir Konstitusi, dari Original Intent hingga Judicial Activism
Potret Kamus Hukum Indonesia

Menafsir Konstitusi, dari Original Intent hingga Judicial Activism

​​​​​​​Dalam studi hukum tata negara dikenal pula teori mengenai the living constitution theory yang dianggap bagian dari cara pandang hukum progresif.

Oleh:
Moch Dani Pratama Huzaini/Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Menafsir Konstitusi, dari Original Intent hingga Judicial Activism
Hukumonline

Dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden-Wakil Presiden lalu, jelas terlihat bagaimana upaya serius dari kuasa hukum para pihak menafsirkan UU. Hal yang kurang lebih sama telah berlangsung sepanjang berdirinya Mahkmah Konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengamanatkan sejumlah tugas dan wewenang kepada MK. Dalam menjalankan tugasnya sebagai penafsir UU, telah banyak produk putusan dari MK yang menegaskan bunyi ataupun maksud dari sebuah norma dalam setiap UU yang diujikan ke MK.

 

Tentu bukan pekerjaan mudah menafsirkan UU. Karena metode maupun pendekatan yang digunakan bisa bermacam-macam. Namun menurut Juru Bicara MK Fajar Laksono, secara garis besar metode penafsiran UU terhadap konstitusi yang kerap digunakan oleh majelis hakim MK terdiri atas dua arus besar. Menurutnya, kedua arus besar metode penafsiran tersebut sama-sama memiliki banyak pendukung dan variannya masing-masing.

 

“Dapat dikelompokkan menjadi dua arus besar, penafsiran tekstual (original intent) dan penafsiran kontekstual (sesuai konteks),” ujar Fajar kepada hukumonline, Senin (5/8).

 

Penulis buku Sengketa Madzhab Hukum, Muji Kartika Rahayu memiliki analisis sendiri terkait perbedaan pandangan maupun aliran dalam menafsir UU terhadap Konstitusi. Menurut perempuan yang kerap disapa Kanti ini, sepanjang pengamatannya terhadap para pihak yang kerap bersengketa di MK, tidak ada yang benar-benar merupakan penganut aliran hukum tertentu. 

 

Hal ini disebabkan oleh nalar instrumental yang digunakan oleh para pihak sehingga dalam proses sengekta hasil Pemilu ataupun pengujian Undang-Undang terhadap UUD pun dalil yang dibangun akan berhubungan erat dengan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak. Artinya, penggunaan paradigma, pendekatan, ataupun teori yang menjadi dasar para pihak dalam mengkonstruksi permohonan atau jawaban akan berlandaskan tujuan.

 

“Jika memenangkan sidang hakimnya harus formalis maka saya akan menggunakan pendekatan demikian,” ujar Kanti mengilustrasikan penggunaan pendekatan dalam menafsir UU.

 

Baca:

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait