Kebijakan Remisi Tak Timbulkan Efek Jera bagi Kejahatan Korupsi
Berita

Kebijakan Remisi Tak Timbulkan Efek Jera bagi Kejahatan Korupsi

Karena kebijakan pemberian remisi terhadap narapidana korupsi praktiknya dinilai masih longgar.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Kementerian Hukum dan HAM. Foto: SGP
Kementerian Hukum dan HAM. Foto: SGP

Kebijakan remisi terhadap 338 narapidana korupsi saat HUT RI ke-74 kembali mendapat perhatian dari masyarakat sipil. Pasalnya, pemberian remisi oleh Kementerian Hukum dan HAM seolah tanpa memperhatikan syarat khusus pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku alias diobral.         

 

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Ramadhan Kurnia menyayangkan perayaan HUT RI dibarengi pemberian pengurangan masa hukuman terhadap ratusan narapidana kasus korupsi secara mudah. Padahal, aturan terkait pemberian remisi telah tegas memberikan rambu-rambu (syarat-syarat khusus). “Ini ironi,” ujar Ramadhan Kurnia saat dihubungi Hukumonline di Jakarta, Selasa (20/8/2019).

 

Dia menerangkan ada perbedaan syarat pemberian resmi antara narapidana kasus korupsi dan narapidana tindak pidana umum lainnya. Hal ini diatur jelas dalam Peraturan Pemerintah No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

 

Kurnia berpendapat, bila dalam tindak umum hanya mensyaratkan berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan, maka berhak mendapatkan remisi. Namun bagi tindak pidana korupsi, pemberian remisi merujuk pada Pasal 34 A ayat (1) ditambah syarat dua poin lainnya pada huruf a dan b yakni bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator) dan telah membayar lunas dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

 

Menurutnya, obral remisi bagi narapidana kasus korupsi berpotensi mengganggu stabilitas pemberian efek jera dalam sistem peradilan pidana. Menurut Kurnia, keberadaan lembaga pemasyarakatan (Lapas) dimaknai sebagai hilir pemberian efek jera. Bila terus terjadi kelonggaran dalam pemberian remisi, kinerja penegak hukum mulai ranah penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan peran institusi kehakiman bakal menjadi sia-sia.

 

“Kemenkumham seharusnya selaras dengan sikap Presiden pada tahun 2015 lalu yang menyebutkan bahwa narapidana kasus korupsi seharusnya tidak mendapatkan pengurangan hukuman,” kata dia mengingatkan.

 

Soal penilaian syarat berkelakuan baik, Kurnia juga mengingatkan Kemenkumham harus benar memperhatikan aspek tersebut. “Jangan sampai yang terlihat publik adanya narapidana kasus korupsi yang diduga sempat mendapat fasilitas sel mewah malah diberikan pengurangan hukuman,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait