Ragam Alasan Usul Permenaker Outsourcing Direvisi
Berita

Ragam Alasan Usul Permenaker Outsourcing Direvisi

Karena berlakunya Permenaker Outsourcing pada akhirnya bakal merugikan buruh/pekerja outsourcing dan perusahaan outsourcing profesional.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Foto: Sgp
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Foto: Sgp

Terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Permenakertrans No.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain (outsourcing) mendapat sorotan dari kalangan serikat buruh.

 

Sekjen OPSI Timboel Siregar menyoroti sedikitnya enam hal dalam Permenaker yang menekankan perusahaan outsourcing wajib memiliki izin usaha dari lembaga pengelola Online Sistem Submission (OSS).

 

Pertama, Permenaker yang diundangkan 5 Agustus 2019 ini menghapus kewajiban perusahaan outsourcing untuk melampirkan draft perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan buruh yang dipekerjakannya. Padahal, dalam Permenaker No.19 Tahun 2012 mewajibkan lampiran ini sebagai salah satu syarat pendaftaran perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan outsourcing.

 

Menurut Timboel, lampiran itu sangat penting karena sebagai langkah awal bagi dinas ketenagakerjaan untuk meninjau draft perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dan buruhnya itu untuk memastikan tidak ada pasal yang melanggar aturan. Praktiknya, selama ini banyak buruh dipekerjakan tanpa perjanjian kerja, penghapusan syarat tersebut akan berpotensi memunculkan pelanggaran yang makin masif dan buruh yang menjadi korban.

 

Kedua, Permenaker ini ‘menghaluskan’ sanksi yang diberikan kepada perusahaan outsourcing yang melanggar aturan. Sebelumnya, sanksi berupa pencabutan izin operasional, tapi sekarang diubah menjadi sanksi administratif yang terdiri dari teguran tertulis dan pembekuan kegiatan usaha. Penjatuhan sanksi ini juga dibatasi, dinas ketenagakerjaan (disnaker) provinsi hanya diberi kewenangan untuk memberikan teguran tertulis paling banyak dua kali.

 

Disnakertrans Provinsi tidak bisa lagi menjatuhkan sanksi berupa pencabutan izin operasional perusahaan outsourcing karena kewenangan ini sudah dialihkan kepada Menteri Ketenagakerjaan. Perubahan Pasal 23 Permenaker Outsourcing ini juga mengubah pengenaan sanksi secara lokasi, bukan institusi perusahaan outsourcing secara keseluruhan.

 

“Pemberian sanksi ini sifatnya sekarang jadi terlokalisir, padahal pelanggaran yang terjadi biasanya keputusan direksi perusahaan outsourcing, bukan keputusan manajer di tingkat lokal,” kata Timboel di Jakarta, Rabu (21/8/2019). Baca Juga: Sejumlah Catatan Kritis atas Permenaker Outsourcing

Tags:

Berita Terkait