Waspadalah Membuka Kotak Pandora
Kolom

Waspadalah Membuka Kotak Pandora

Kewaspadaan dan perencanaan adalah sikap politik yang bijak untuk mengamandemen UUD 1945.

Bacaan 2 Menit
D. Nicky Fahrizal. Foto: Istimewa
D. Nicky Fahrizal. Foto: Istimewa

Undang-Undang Dasar pada galibnya adalah hukum tertinggi di suatu negara yang merupakan hasil interaksi dinamis kehendak para aktor-aktor politik atau kekuatan-kekuatan politik yang dominan di dalam badan pembentuk Undang-Undang Dasar. Fungsi Undang-Undang Dasar adalah prosedur yang mengatur penggunaan kekuasaan agar sejalan dengan nalar publik, etika bernegara, dan hukum yang berlaku. Maka dengan demikian kedudukan Undang-Undang Dasar adalah fundamental di dalam menjamin eksistensi suatu negara, baik terhadap aspek tata kelola maupun aspek simbol pemersatu masyarakat.

 

Terkait dinamika politik nasional pasca pemilu 2019, ruang publik kembali dihangatkan melalui diskursus amandemen terbatas terhadap UUD 1945 yang diutarakan oleh Partai Politik pemenang Pemilu 2019, PDI Perjuangan. Narasi rencana amandemen terbatas ini menginginkan MPR memiliki kembali kewenangan membentuk GBHN secara langsung maupun tidak langsung mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, Harian Kompas (10/08/2019) PDI Perjuangan Ingin Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) kembali jadi lembaga tertinggi negara.

 

Narasi ini kita didorong untuk memikirkan kembali masa depan Republik Indonesia sebagai negara hukum demokratis. Di samping itu juga, kita mempertanyakan kembali narasi tersebut; benarkah dengan kembali menjadi lembaga tertinggi, MPR tidak menabrak sistem presidensial yang berlangsung saat ini, dan benarkah dengan kedudukan MPR yang diinginkan lebih merepresentasikan keterwakilan golongan atau elemen masyarakat Indonesia sebagaimana refleksi dari semangat demokrasi Pancasila? Ataukah sebenarnya memang dibutuhkan sistem pemerintahan yang baru untuk menjamin perimbangan kekuatan politik? Namun lebih terpenting lagi, sudahkah elit politik menyadari bahayanya mengamandemen tanpa kesadaran dan perencanaan dapat mengakibatkan kembalinya otoritarianisme dan perubahan terhadap pembukaan UUD 1945?

 

Konstruksi UUD 1945 pada naskah asli menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga kedaulatan rakyat dijalankan oleh MPR. Bentuk implementasi kekuasaan tersebut, terlihat dari wewenang yang dimiilki MPR, di mana meliputi; memilih dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sehingga Presiden tunduk dan bertanggungjawab terhadap MPR, lalu menetapkan GBHN, serta menetapkan Undang-Undang Dasar. Namun, secara praktik bernegara dan realpolitik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Presidenlah yang secara nyata memiliki kekuasaan tertinggi, dan secara efektif juga kekuasaan tersebut dijalankan.

 

Sebaliknya, pada UUD 1945 hasil perubahan keempat, terdapat tiga aspek fundamental di mana berhasil memberi bentuk yang khas pada sistem ketatanegaraan di tengah-tengah penguatan kedudukan Presiden (strong presidentialism). Pertama, sistem pemilu yang memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Kedua, penguatan kapasitas partai politik dalam mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, UU Politik (Pemilu) yang berlaku layaknya konstitusi yang tidak tertulis, karena setiap UU Pemilu yang ditetapkan tersebut hasil kesepakatan politik strategis elit dan menentukan eksistensi Parpol di dalam landskap politik elektoral.

 

Dengan demikian, apabila akan dilakukan amandemen terbatas untuk mengembalikan sebagian tugas dan fungsi MPR pada masa sebelum dilakukan amandemen UUD 1945, hal ini akan lebih melemahkan kedudukan Presiden pada masa depan. Terlebih lagi telah berjalan selama sepuluh tahun lebih sistem penyusunan RPJMN dan RPJPN melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang), serta sistem evaluasi dan pengawasan pembangunan jangka menengah dan panjang di lingkungan pemerintahan.

 

Jika ini yang menjadi permasalahan sehingga diperlukan amandemen, sebaiknya yang perlu disempurnakan adalah mekanisme penyusunan, evaluasi, dan pengawasannya, sehingga efektif dari pusat hingga ke daerah, bukan sebaliknya mengembalikan salah satu fungsi MPR di masa lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait