Masih Bermasalah, Aliansi Tolak Rencana Pengesahan RKUHP
Utama

Masih Bermasalah, Aliansi Tolak Rencana Pengesahan RKUHP

Materi muatan RKUHP antara lain berpotensi membuka ruang kriminalisasi, diskriminasi, bertentangan dengan konstitusi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pembahasan RUU: HGW
Ilustrasi Pembahasan RUU: HGW

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menolak rencana pemerintah dan DPR untuk mengesahkan Rancangan KUHP (RKUHP) menjadi UU pada 24 September 2019. Sebab, masih banyak pasal RKUHP yang masih bermasalah, mulai pasal penodaan agama, living law, pidana mati, penghinaan presiden, penghinaan pemerintah/penguasa, pidana korporasi, aborsi, narkotika, hingga pelanggaran HAM berat.    

 

Ketua Umum YLBHI Asfinawati mengatakan sejak reformasi Indonesia telah melakukan pembenahan di bidang hukum, antara lain mengamandemen konstitusi dan meratifikasi berbagai macam konvensi internasional antara lain hal sipil dan politik dan ekonomi sosial budaya. Pembahasan RKUHP sejatinya harus mengacu berbagai ketentuan tersebut.

 

Namun Asfin melihat dalam RKUHP yang rencananya akan segera disahkan pemerintah dan DPR masih ada sejumlah persoalan. Misalnya, Pasal 323 RKUHP tentang kriminalisasi penginaan terhadap agama. Menurut Asfin, tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan penghinaan kepada agama. Jika penghinaan ini ditujukan kepada individu, pihak yang merasa dihina bisa melakukan pengaduan.

 

Dalam ketentuan RKUHP ini siapa pihak yang bisa mengklaim bahwa ada ajaran yang menghina suatu agama? “Ini akan menimbulkan diskriminasi yakni memilih satu tafsir agama untuk mempidanakan tafsir yang lain,” kata Asfin dalam jumpa pers di kantor YLBHI/LBH Jakarta, Senin (26/8/2019). Baca Juga: Masih Berfilosofi Kolonial Diharapkan RKUHP Tidak Buru-Buru Disahkan

 

Pada prinsipnya, Aliansi meminta pidana terkait penghinaan terhadap agama seharusnya dihapus. Asfin menilai seharusnya ini tidak dibawa ke ranah pidana, tapi perdata dan mekanisme lainnya. Jika ketentuan ini disahkan, maka DPR dan pemerintah melakukan diskriminasi yang pada prinsipnya dilarang oleh konstitusi.

 

Asfin juga menyoroti ketentuan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yakni Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 618 RKUHP. Menurutnya, ini pasal pamungkas yang bisa digunakan untuk mempidana segala hal. RKUHP tidak memberikan kriteria yang jelas tentang hukum yang hidup di masyarakat. Menurutnya tafsir ini akan dilakukan oleh aparat kepolisian yaitu menentukan apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup di masyarakat. RKUHP juga tidak menjelaskan bahwa yang dimaksud itu adalah hukum adat.

 

“Ini pasal yang mengecoh, seolah itu hukum adat, tapi faktanya tidak ada tertulis dalam RKUHP,” ungkapnya.

Tags:

Berita Terkait