KPPU Selidiki Dugaan Kartel Pinjaman Online
Berita

KPPU Selidiki Dugaan Kartel Pinjaman Online

Dengan infrastuktur yang minim, besaran bunga yang diterapkan P2P Lending dinilai terlalu tinggi. Besaran bunga seharusnya diatur oleh regulator, bukan asosiasi.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
KPPU mulai menyelidiki adanya dugaan kartel pinjaman online.  Foto: FNH
KPPU mulai menyelidiki adanya dugaan kartel pinjaman online. Foto: FNH

Keberadaan pinjaman online atau yang kerap disebut dengan Fintech P2P (peer-to-peer) lending memang tengah marak di Indonesia. Namun sayangnya, pertumbuhan sektor fintech ini belum dibarengi dengan peraturan yang jelas, terutama terkait besaran bunga.

 

Atas dasar inisiatif, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penyidikan terkait skema penetapan bunga yang diterapkan pada pinjaman online. KPPU menduga ada praktik kartel atau pemutusan bunga secara bersama-sama antar pelaku usaha fintech legal. Mengingat besaran bunga yang diterapkan cukup tinggi mencapai 0,8 persen per hari.

 

“Yang mau dilihat itu peer-to-peer landing (legal), KPPU menduga mereka melakukan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat salah satunya dalam penetapan suku bunga,” Direktur Ekonomi KPPU Zulfirmansyah, Senin (26/8).

 

Sejauh ini, pinjaman online diatur dalam POJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Namun penetapan besaran bunga tetap diatur oleh asosiasi pinjaman online. Sedangkan masalah kartel diatur dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.  

 

UU No.5/1999

Pasal 11:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 48:

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggitingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.

 

Menurut Zulfirmansyah, sepatutnya besaran bunga kredit P2P lending diatur oleh badan regulator seperti Bank Indonesa dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika besaran unga diserahkan kepada asosiasi, akan rawan untuk terjadi kartel yang hanya menguntungkan satu pihak saja.

 

(Baca Juga: Grab Dibidik KPPU)

 

Jika besaran bunga dan biaya administrasi diatur dengan mempertimbangan tingginya risiko, Zulfirmansyah kemudian membandingkan dengan Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang dikeluarkan oleh perbankan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait