Perma Gugatan Sederhana Dinilai Topang Kemudahan Berusaha
Dalam beberapa tahun terakhir, Mahkamah Agung (MA) dinilai turut berperan meningkatkan kemudahan berusaha (easy of doing business/EoDB) di Indonesia. Wujudnya, MA menerbitkan sejumlah kebijakan yang diarahkan pada penyederhanaan penyelesaian perkara perdata agar lebih sederhana, cepat, biaya ringan yang memberi jaminan kepastian, keamanan berusaha. Terutama, ketika ketika para pelaku usaha dan atau pihak terkait terjadi perselisihan hak dengan melibatkan pengadilan.
Salah satunya, terbitnya Peraturan MA (Perma) No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perma No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Sebab, selama ini proses penyelesaian peradilan perdata di Indonesia memerlukan waktu cukup lama dan biaya besar sejak pendaftaran gugatan, proses persidangan, hingga eksekusi putusan yang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun.
Sementara, Perma Gugatan Sederhana ini menetapkan jangka waktu penyelesaian perkara perdata maksimal 25 hari sudah diputuskan dengan hakim tunggal; nilai objek gugatan maksimal Rp500 juta; mensyaratkan kewajiban kehadiran para pihak; dan tanpa tersedia upaya hukum banding, kasasi, peninjauan kembali. Perma ini bisa memanfaatkan administrasi pendaftaran perkara secara elektronik (e-court).
Dalam proses eksekusi putusan, pengadilan dibatasi waktu untuk melaksanakan putusan. Misalnya, ketua pengadilan dapat mengeluarkan penetapan aanmaning (peringatan/teguran) paling lambat 7 hari setelah menerima surat permohonan eksekusi. Dalam hal kondisi georafis tertentu, aanmaning tidak dapat dilaksanakan dalam 7 hari, ketua pengadilan dapat menyimpangi batas waktu itu. Jika tidak dipatuhi, eksekusi putusan dilaksanakan sesuai hukum acara perdata yang berlaku.
Praktisi Hukum yang juga Pengajar STHI Jentera Ahmad Fikri Assegaf mengapresiasi terbitnya perubahan Perma Gugatan Sederhana ini karena dinilai mendukung kemudahan berusaha bagi pelaku usaha. Sebab, selama ini problem utama proses persidangan (perkara perdata) hingga pelaksanaan putusan memakan waktu lama.
“Jadi, Perma ini dapat mengatasi masalah lamanya proses peradilan perdata, sehingga mendukung kemudahan berusaha di Indonesia,” kata Fikri dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (28/8/2019). Baca Juga: Sejumlah Perubahan dalam Perma Gugatan Sederhana
Selain proses persidangan memakan waktu lama, Fikri menilai proses persidangan perdata membutuhkan biaya besar. Mengutip hasil survei dan penilaian EoDB World Bank, rata-rata waktu penyelesaian perkara perdata di Indonesia adalah totalnya 390 hari (proses persidangan selama 150 hari dan proses eksekusi 180 hari). Sementara, total biaya semua proses persidangan rata-rata sebesar 74 persen dari nilai objek sengketa.
Bila dirinci proses persidangan perdata, mulai proses pendaftaran, pemanggilan, hingga proses dimulainya sidang bisa memakan waktu 1-1,5 bulan; proses persidangan termasuk mediasi hingga putusan bisa memakan waktu 5 bulan atau lebih. Belum lagi, jika perkaranya masuk proses upaya hukum banding, kasasi bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Secara normatif, Fikri menjelaskan jangka waktu proses pemeriksaan gugatan perdata konvensional untuk tingkat pertama selama 5 bulan. Jika perkara ini diajukan upaya hukum banding, jangka waktu penyelesaiannya selama 3 bulan. Jika diajukan kasasi, jangka waktu penyelesaian selama 250 hari.
Sementara dalam Perma No. 4 Tahun 2019, penyelesaian gugatan sederhana dilakukan dalam waktu 25 hari sejak sidang pertama hingga pembacaan putusan tanpa tersedia upaya hukum. Upaya yang bisa dilakukan para pihak terhadap putusan gugatan sederhana hanya berupa keberatan dimana putusan atas permohonan keberatan diucapkan paling lambat 7 hari setelah penetapan hakim.
“Dalam Perma Gugatan Sederhana, gugatan dapat diajukan di wilayah domisili tergugat, meskipun berbeda wilayah domisili dengan penggugat, dengan menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili tergugat. Sehingga, jangka waktu pemanggilan para pihak relatif lebih singkat karena tidak ada pendelegasian wewenang antar pengadilan negeri,” terangnya.
Tak hanya itu, lanjutnya, ketua pengadilan negeri dapat mengeluarkan penetapan (peringatan/teguran) aanmaning paling lambat 7 hari setelah menerima surat permohonan. Sedangkan dalam gugatan perdata konvensional, tidak ada jangka waktu sejak diajukannya permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri hingga panggilan teguran (aanmaning). “Kita berharap mekanisme penyelesaian gugatan sederhana dapat mengatasi segala masalah dalam proses peradilan perdata (biasa),” tegasnya.
Menurut Fikri, proses penanganan perkara perdata yang memakan waktu lama dan biaya yang tinggi ini sangat dirasakan sektor industri perbankan, khususnya penanganan kredit mikro bermasalah. Hal ini didasarkan data yang diperoleh, dari total 174 perkara gugatan di Pengadilan Negeri wilayah DKI Jakarta tahun 2018, sekitar 78 persen masuk kategori gugatan sederhana yang diajukan Bank sebagai penggugatnya.
Hakim Agung Syamsul Maarif mengatakan terbitnya perubahan Perma Gugatan Sederhana in didasarkan karena jumlah gugatan melalui prosedur sederhana mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan ada kebutuhan riil terhadap penyelesaian sengketa perdata secara cepat, sederhana, biaya ringan terutama di kalangan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Vice President Legal Bukalapak Perdana Saputro mengapresiasi terbitnya Perma Gugatan Sederhana ini. “Perma ini diharapkan dapat membantu mengatasi segala perselisihan sektor usaha yang berkaitan dengan teknologi dan dunia kreatif di pengadilan,” katanya.
Apabila Anda menggunakan Private Browsing dalam Firefox, "Tracking Protection" akan muncul pemberitahuan Adblock. Anda dapat menonaktifkan dengan klik “shield icon” pada address bar Anda.
Terima kasih atas dukungan Anda untuk membantu kami menjadikan hukum untuk semua