Perma Gugatan Sederhana Dinilai Topang Kemudahan Berusaha
Berita

Perma Gugatan Sederhana Dinilai Topang Kemudahan Berusaha

Karena Perma Gugatan Sederhana mampu mengatasi masalah lamanya penyelesaian proses peradilan perdata dan biaya besar.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber dalam Diskusi Publik bertajuk 'Penyelesaian Gugatan Sederhana: Sebagai Wujud Sistem Peradilan yang Sederhana Cepat dan Biaya Ringan' di Hotel Ayaduta Jakarta, Selasa (27/8). Foto: AID
Sejumlah narasumber dalam Diskusi Publik bertajuk 'Penyelesaian Gugatan Sederhana: Sebagai Wujud Sistem Peradilan yang Sederhana Cepat dan Biaya Ringan' di Hotel Ayaduta Jakarta, Selasa (27/8). Foto: AID

Dalam beberapa tahun terakhir, Mahkamah Agung (MA) dinilai turut berperan meningkatkan kemudahan berusaha (easy of doing business/EoDB) di Indonesia. Wujudnya, MA menerbitkan sejumlah kebijakan yang diarahkan pada penyederhanaan penyelesaian perkara perdata agar lebih sederhana, cepat, biaya ringan yang memberi jaminan kepastian, keamanan berusaha. Terutama, ketika ketika para pelaku usaha dan atau pihak terkait terjadi perselisihan hak dengan melibatkan pengadilan.

 

Salah satunya, terbitnya Peraturan MA (Perma) No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perma No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Sebab, selama ini proses penyelesaian peradilan perdata di Indonesia memerlukan waktu cukup lama dan biaya besar sejak pendaftaran gugatan, proses persidangan, hingga eksekusi putusan yang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun.

 

Sementara, Perma Gugatan Sederhana ini menetapkan jangka waktu penyelesaian perkara perdata maksimal 25 hari sudah diputuskan dengan hakim tunggal; nilai objek gugatan maksimal Rp500 juta; mensyaratkan kewajiban kehadiran para pihak; dan tanpa tersedia upaya hukum banding, kasasi, peninjauan kembali. Perma ini bisa memanfaatkan administrasi pendaftaran perkara secara elektronik (e-court).

 

Dalam proses eksekusi putusan, pengadilan dibatasi waktu untuk melaksanakan putusan. Misalnya, ketua pengadilan dapat mengeluarkan penetapan aanmaning (peringatan/teguran) paling lambat 7 hari setelah menerima surat permohonan eksekusi. Dalam hal kondisi georafis tertentu, aanmaning tidak dapat dilaksanakan dalam 7 hari, ketua pengadilan dapat menyimpangi batas waktu itu. Jika tidak dipatuhi, eksekusi putusan dilaksanakan sesuai hukum acara perdata yang berlaku.

 

Praktisi Hukum yang juga Pengajar STHI Jentera Ahmad Fikri Assegaf mengapresiasi terbitnya perubahan Perma Gugatan Sederhana ini karena dinilai mendukung kemudahan berusaha bagi pelaku usaha. Sebab, selama ini problem utama proses persidangan (perkara perdata) hingga pelaksanaan putusan memakan waktu lama.   

 

“Jadi, Perma ini dapat mengatasi masalah lamanya proses peradilan perdata, sehingga mendukung kemudahan berusaha di Indonesia,” kata Fikri dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (28/8/2019). Baca Juga: Sejumlah Perubahan dalam Perma Gugatan Sederhana

 

Selain proses persidangan memakan waktu lama, Fikri menilai proses persidangan perdata membutuhkan biaya besar. Mengutip hasil survei dan penilaian EoDB World Bank, rata-rata waktu penyelesaian perkara perdata di Indonesia adalah totalnya 390 hari (proses persidangan selama 150 hari dan proses eksekusi 180 hari). Sementara, total biaya semua proses persidangan rata-rata sebesar 74 persen dari nilai objek sengketa.

Tags:

Berita Terkait