Beragam Profesi Ini Terancam Ketentuan Contempt of Court di RKUHP
Berita

Beragam Profesi Ini Terancam Ketentuan Contempt of Court di RKUHP

Mulai dari advokat, jaksa penuntut umum, wartawan yang meliput persidangan, narasumber yang diwawancara oleh wartawan, serta akademisi yang melakukan eksaminasi terhadap sebuah putusan di ruang lingkup akademik dapat dikriminalisasi dengan adanya pasal ini.

Oleh:
Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Anggota Koalisi mengkritik pasal contempt of court di RKUHP. Foto: DAN
Anggota Koalisi mengkritik pasal contempt of court di RKUHP. Foto: DAN

Pemerintah dan DPR mengeluarkan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru pada tanggal 28 Agustus 2019. Dalam draf terbaru ini, terdapat sejumlah perubahan dan perbaikan. Meski begitu, Koalisi Pemantau Peradilan memandang draf ini masih memiliki potensi permasalahan di mana salah satunya terkait pengaturan tentang contempt of court.

 

Pasal 281 draf RKUHP tersebut mengatur tindak pidana terhadap proses peradilan diancam dengan pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Sementara tindakan yang termasuk dalam delik pidana ini antara lain ditujukan kepada tiga kategori, yakni setiap orang yang: tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan. 

 

Kemudian juga ada setiap orang yang tidak hormat kepada hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam persidangan; serta setiap orang yang secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang di pengadilan. 

 

Terhadap ketiga delik ini, koalisi pemantau peradilan dengan tegas menolak adanya ketentuan dimaksud. Dio Ashar dari Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menilai, ketiga delik tersebut berisiko menghadirkan kriminalisasi baru kepada sejumlah orang. 

 

“Pasal baru (281) yang diatur dalam RKUHP ini berbahaya. Ini berpotensi kriminalisasi berlebihan,” ujar Dio dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (1/9).

 

Menurut Dio, ketentuan terkait tindak pidana terhadap proses peradilan sebenarnya telah diatur dalam KUHP yang ada saat ini. Semangat dan penerapannya pun telah proporsional dengan melindungi hakim sepanjang proses peradilan berlangsung. Oleh karena itu, ketentuan delik baru dalam kategori tindak pidana ini menurut Dio tidak perlu ada. Apalagi, semangat anti kolonialisme yang diusung melalui penyusunan RKUHP berupaya meminimalisir pemidanaan.

 

“Apakah (ketiga delik) ini masuk dalam kategori tindak pidana yang harus diatur sehingga punya sanksi penjara?” tanyanya. 

Tags:

Berita Terkait