Seperguruan, Advokat, Jaksa, dan Hakim di Jepang Dididik Satu Atap
Berita

Seperguruan, Advokat, Jaksa, dan Hakim di Jepang Dididik Satu Atap

Melewati dua kali ujian seleksi dalam proses pendidikan selama satu tahun. Terikat satu kode etik profesi bersama.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Presiden KAI dan jajarannya menyambut delegasi JILA, Selasa (3/9). Foto: NEE
Presiden KAI dan jajarannya menyambut delegasi JILA, Selasa (3/9). Foto: NEE

Ada cerita menarik dari Yoshiro Kusano, Ketua Japan-Indonesia Lawyers Association (JILA) soal hubungan Advokat, Jaksa, dan Hakim di Jepang. Menurutnya, ketiga profesi hukum di Jepang itu cenderung kompak dalam menegakkan hukum. Sebabnya karena Jepang merekrut calon advokat, jaksa, dan hakim dalam satu proses pendidikan. Bahkan ketiga profesi ini terikat dengan hanya satu kode etik bersama sebagai penegak hukum.

 

“Sudah 70 tahun setelah perang dunia dijadikan satu proses rekrutmen,” kata Kusano dalam kunjungannya ke kantor Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (DPP KAI), Selasa (3/9).

 

Bersama tujuh orang advokat Jepang lainnya, Kusano tengah melakukan kunjungan persahabatan rutin ke Indonesia. Selain ke kantor DPP KAI, delegasi ini juga mendatangi beberapa pengadilan di Indonesia termasuk Mahkamah Agung. Kusano menyebutkan rata-rata jumlah yang lolos ujian seleksi pendidikan untuk menjadi calon advokat, jaksa, dan hakim di Jepang sebanyak 1500 orang. Para calon ini akan diminta mengisi pilihan mereka dalam skala persentase untuk menjadi advokat, jaksa, atau hakim.

 

Di akhir pendidikan berdurasi setahun itu akan kembali diadakan ujian. Biasanya hanya ada 60-an orang yang nilainya lolos untuk diterima menjadi hakim dan 60-an orang pula untuk posisi jaksa. Pendidikan diselenggarakan oleh Mahkamah Agung bersama Kementerian Hukum. Selama setahun mereka mendapat pendidikan dari tim pengajar yang terdiri dari hakim, jaksa, dan advokat.

 

“Selebihnya adalah yang akan menjadi advokat,” Kusano menjelaskan. Namun ini bukan berarti advokat yang dihasilkan adalah calon ‘buangan’. Sejak awal menetapkan persentase pilihan, para calon memang sudah menyatakan pilihannya. Pilihan menjadi advokat biasanya disebabkan ada peluang memiliki penghasilan lebih banyak dan tidak harus mengikuti rotasi penempatan tugas dinas dari satu wilayah ke wilayah lain.

 

Ada satu federasi organisasi advokat yang kemudian mengangkat para calon advokat tersebut sebagai anggotanya. Apabila ada masalah sampai harus dipecat, kewenangan sepenuhnya ada pada organisasi advokat tersebut secara otonom. “Organisasi yang mengangkat, dulu sebelum perang dunia kedua memang diangkat pemerintah,” katanya saat diminta konfirmasi oleh Hukumonline.   

 

Baca:

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait