Menolak Konstitusionalisme Otoritarian, Mempertahankan Demokrasi Konstitusional
Kolom

Menolak Konstitusionalisme Otoritarian, Mempertahankan Demokrasi Konstitusional

​​​​​​​Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki Negara Pengurus. – Moh. Hatta-

Bacaan 2 Menit
Giri Ahmad Taufik. Foto: Istimewa
Giri Ahmad Taufik. Foto: Istimewa

Cuplikan di atas merupakan salah satu pidato Mohammad Hatta dalam ikhtiarnya mendorong perlindungan HAM di dalam UUD 1945 pada sidang BPUPKI. Pidato tersebut dilatarbelakangi perseteruan antara founding fathers Indonesia terkait dengan perlu atau tidaknya perlindungan HAM dalam konstitusi Indonesia.

 

Pihak penolak HAM yang diwakili oleh Soepomo dan Soekarno, menolak adanya jaminan perlindungan HAM karena dianggap berasal dari individualisme barat yang tidak sesuai dengan kolektivisme Indonesia. Sedangkan Hatta memandang perlunya perlindungan HAM untuk mencegah Indonesia menjadi negara kekuasaan. Perdebatan tersebut menandai salah satu perbedaan mendasar paradigma politik founding father dalam menyusun Indonesia.

 

Penolakan Soepomo terhadap HAM merupakan bagian dari ideologi politik yang dinamai sebagai Negara Integralistik. Sedangkan Hatta menganut paham Negara Pengurus (welfare state) yang didasarkan pada paham sosial demokrasi, yang pada banyak contoh di negara-negara Eropa dijalankan melalui sistem Demokrasi Konstitusional.   

 

Perdebatan tersebut menjadi relevan untuk dilihat kembali dalam konteks wacana amandemen UUD 1945 saat ini. Wacana UUD 1945 saat ini memiliki tujuan untuk mengembalikan wewenang MPR dalam memproduksi GBHN dan mengembalikan status MPR sebagai lembaga tertinggi negara, bahkan untuk kembali kepada UUD 1945 versi lama dengan pemilihan Presiden oleh MPR.

 

Pada diskursus tata negara, gagasan MPR dan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara merupakan bagian tidak terpisahkan dari perwujudan paham negara integralistik Soepomo, yang oleh Prof. Padmo Wahyono dinamakan sebagai sebagai sistem MPR. Wacana pengembalian sistem MPR ini harus ditolak, karena pada sistem ini mengandung cacat konsep yang dapat mengembalikan Indonesia pada otoritarianisme.

 

Konstitusionalisme Otoritarian  

Paham negara integralistik didasarkan pada asumsi bahwa penguasa dan rakyat dalam suatu negara merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pada hubungan ini, tidak ada dualisme antara negara dan rakyatnya, kepentingan rakyat selalu selaras dengan kepentingan penguasa. Oleh karenanya, perlindungan HAM menjadi tidak relevan dalam ide ini.

 

Soepomo kemudian menjelaskan untuk menjamin kebersatuan jiwa antara Kepala Negara dengan rakyatnya, maka dibentuklah dalam susunan struktur ketatanegaraan Indonesia sebuah badan permusyawaratan Indonesia, yang terwujud dalam MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat. Penjelmaan kedaulatan rakyat kemudian diterjemahkan ke dalam kewenangan MPR untuk merumuskan GBHN yang kemudian dilaksanakan oleh Presiden sebagai mandataris MPR.

Tags:

Berita Terkait