Cerita Maria Farida dalam Wisuda Sarjana Angkatan Pertama STHI Jentera
Berita

Cerita Maria Farida dalam Wisuda Sarjana Angkatan Pertama STHI Jentera

Profesi hukum semakin terbentang luas. Berbagai lembaga negara yang menjalankan fungsi hukum berkembang biak begitu banyak.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Kuliah umum oleh hakim konstitusi perempuan pertama Indonesia, Maria Farida Indrati, dalam acara Wisuda Sarjana Angkatan Pertama STHI Jentera Tahun Akademik 2019-2020 di Jakarta, Rabu (11/9). Foto: RES
Kuliah umum oleh hakim konstitusi perempuan pertama Indonesia, Maria Farida Indrati, dalam acara Wisuda Sarjana Angkatan Pertama STHI Jentera Tahun Akademik 2019-2020 di Jakarta, Rabu (11/9). Foto: RES

Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera melaksanakan acara Wisuda Sarjana Angkatan Pertama Tahun Akademik 2019-2020 di Jakarta, Rabu (11/9). Acara itu turut dhadiri oleh Hakim Konstitusi Periode 2008-2018, Maria Farida Indrati. Di hadapan 18 wisudawan, Maria menceritakan pengalamannya selama bergelut di dunia hukum.

 

Dia mengatakan sebelum era reformasi, dirinya tak pernah berpikir atau berkeinginan menjadi mahasiswa hukum. Ketika itu, katanya, kebanyakan orang tua menginginkan anaknya untuk masuk fakultas kedokteran atau ekonomi. Di masa awal mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum (FH), bahkan Maria berpikir dirinya tidak mempunyai masa depan yang cerah.

 

“Saya tidak tahu awalnya FH akan menjadi sangat berharga bagi saya,” ujarnya.

 

Terlebih, dulu semasa kuliah ia mengambil konsentrasi hukum tata negara. Banyak yang ketika itu berpandangan bahwa lahan pekerjaan untuk hukum tata negara sangat terbatas, seperti untuk menjadi bupati atau lurah. Seiring berkembangnya zaman, ternyata sangat banyak sekali pilihan pekerjaan yang tersedia untuk penjurusan tata negara, salah satunya menjadi guru besar atau menjalankan amanah sebagai seorang hakim konstitusi.

 

(Baca: STHI Jentera Gelar Wisuda Sarjana Angkatan Pertama)

 

Ia juga menceritakan bahwa dulu dirinya tak pernah berpikir akan terpilih menjadi hakim konstitusi. Bahkan, dia mengaku tak pernah ingin menjadi hakim konstitusi. Dia merasa wataknya yang keras kepala akan membuat dirinya sangat sulit untuk menghadapi beda pendapat dengan atasan.

 

“Kalau atasan saya beda pendapat dengan saya, saya pasti akan tetap pada pendapat saya. Karena itu waktu pertama kali dicalonkan, saya selalu bilang saya ini keras kepala,” ujarnya.

 

Awalnya, memang dia kesulitan pada periode pertama menjadi hakim konstitusi, mengingat belum dikenal yang namanya dissenting opinion (pandangan berbeda)di antara para hakim. Pada periode kedua, dia sangat bersyukur dissenting opinion mulai dipergunakan, sehingga dia tak perlu lagi khawatir bila memiliki pandangan yang berbeda dengan hakim lain.

 

Kini, katanya, profesi hukum terbentang sangat luas. Berbagai lembaga negara yang juga menjalankan fungsi hukum berkembang biak begitu banyak seperti OJK, PPATK, KPU, Bawaslu, DKPP dan masih banyak lagi termasuk perusahaan swasta. Tak bisa ditampik, banyak sekali yang butuh sarjana hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait