Proyek Pembangunan Nasional Harus Perhatikan Analisis Risiko Bencana
Berita

Proyek Pembangunan Nasional Harus Perhatikan Analisis Risiko Bencana

Karena ada ancaman pidana bagi pihak yang melakukan pembangunan, tapi tidak melengkapinya dengan analisis risiko bencana yang kemudian mengakibatkan terjadinya bencana. Pemerintah juga harus menerbitkan kebijakan tata kelola lingkungan dan tata ruang yang memberi daya dukung dan tampung lingkungan di wilayah rawan bencana.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
WALHI. Foto: Hol.
WALHI. Foto: Hol.

Pemerintah terus mendorong masuknya investasi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Hal ini terlihat dari pidato politik calon Presiden terpilih untuk periode 2019-2024, Joko Widodo beberapa waktu lalu. Ada sejumlah proyek pembangunan yang masih bergulir, seperti pembangunan jalan lintas selatan pulau Jawa, PLTU, dan bandar udara. Walhi mencatat daerah pesisir pulau Jawa merupakan daerah rawan bencana, salah satunya gempa bumi karena wilayah itu dilewati cincin/sabuk api atau dikenal dengan istilah ring of fire.

 

Koordinator Kampanye Walhi Edo Rakhman menilai potensi bencana di pesisir selatan pulau Jawa semakin meningkat karena kebijakan pembangunan ekonomi yang digulirkan pemerintah. Menurutnya, wilayah itu masuk dalam kategori rawan bencana, sehingga harus dilindungi agar daya dukung dan tampung lingkungan mampu menghadapi potensi bencana yang muncul.

 

Edo melihat dalam PP No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, pemerintah mengatur kawasan rawan bencana alam sebagai bagian dari kawasan lindung nasional. Kawasan rawan bencana alam meliputi daerah rawan longsor, gelombang pasang, dan banjir. Sayangnya, dalam PP No.13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas PP No.26 Tahun 2008 itu dicabut.

 

Menurut Edo, hal ini ditujukan agar berbagai proyek pembangunan nasional yang digulirkan pemerintah bisa dibangun di wilayah yang sebelumnya masuk kategori rawan bencana alam. “Kesalahan terbesar Presiden Jokowi yakni merevisi PP No.26 Tahun 2008 karena menghapus ketentuan tentang wilayah rawan bencana. Saat ini regulasi mengenai tata ruang tidak berperspektif kebencanaan,” kata Edo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (17/9/2019). Baca Juga: 3 Aturan Ini Jadi Rujukan Utama dalam Hukum Tata Negara Darurat

 

Dihapusnya ketentuan itu membuat berbagai peraturan daerah tentang tata ruang tidak memperhatikan aspek kebencanaan. Akibanya banyak proyek pembangunan seperti infrastruktur dan investasi tidak menghitung kerugian yang akan ditimbulkan akibat bencana. Proyek pembangunan paling besar antara lain berada di sepanjang pesisir selatan pulau Jawa.

 

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Rere Christianto mencatat sedikitnya ada 7 jenis ancaman bencana di pesisir selatan pulau Jawa yakni gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, banjir, angin kencang, dan abrasi. Pembangunan yang berlangsung di pesisir selatan pulau Jawa bakal meningkatkan potensi bencana. Berbagai pembangunan yang ada, seperti jalan lintas selatan, PLTU, tambang pasir besi, dan bandar udara.

 

Rere mengingat dalam rapat dengan BMKG medio Juli 2019, Presiden Jokowi menekankan tidak boleh ada pembangunan di daerah rawan bencana. Tapi pernyataan itu berbeda dengan fakta di lapangan dimana banyak proyek pembangunan di daerah rawan bencana seperti yang ada di pesisir selatan pulau Jawa.

Tags:

Berita Terkait